Rabu, 04 Juni 2014

Lock Out Heaven in You

Baru lulus sekolah aku bingung mau kemana. Pekerjaan yang sulit di daerahku, membuat aku berpikir untuk hidup merantau. Kedua orang tua sudah mulai sakit-sakitan. Tidak ada lagi yang bisa di jadikan tulang punggung keluarga, kecuali aku. Dani namaku. Di usiaku yang ke 20 tahun ini, sampai sekarang belum juga mendapatkan penghasilan dari keringatku sendiri. Ayah ku hanyalah seorang petani. Dan ibu ku membantunya dengan menjual makanan kecil dari rumah ke rumah. Dan adik perempuanku yang baru menginjak remaja, kelas satu smp, haruskah memutuskan pendidikannya hanya karena kami kurang biaya. Sebenarnya kedua orang tua ku mengizinkan aku untuk merantau ke jakarta, kebetulan di sana ada saudara dari ibu, yaitu Bibiku. Sudah lama kami tidak bertemu, khususnya Ibuku sebagai adiknya.

Bi Nenti--biasa aku memanggilnya begitu. Di usianya yang ke 37 tahun, namun dia sudah mempunyai anak dua, tetapi masih terlihat seksi juga cantik. Kulitnya yang putih, dan bokongnya yang aku akui masih berisi serta buah dada yang lumayan besar sangat serasi dengan rambutnya yang panjang mencapai pinggang serta bibirnya yang penuh layaknya bibir Angelina Jolie. 

Ketika aku masih berusia remaja, kelas 1 SMP, aku pernah di bawa kerumahnya bersilaturahmi bersama kedua orang tuaku. Disana, aku diperkenalkan dengan
kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Di rumah yang lumayan besar untuk ukuran di kampungku yang hanya terbuat dari anyaman bambu itu, kami memutuskan bermalam di sana. Itupun atas bujukan Bi Nenti. Suaminya yang sering keluar kota membuatnya merasa sendiri hingga orangtuaku tidak tega untuk pulang hari itu juga. Kami pun tidur bersama-sama dalam satu kamar dengan orang tuaku.

Saat pagi tiba, penisku terasa mengencang, bukan karena aku sedang sange atau apapun, itu dikarenakan aku mau membuang air kecil yang memang aku tahan dari malam. Buru-buru aku keluar kamar untuk ke kamar mandi. Ketika di kamar mandi aku melihat Bi Nenti sedang menyuci baju. Melihat Bibiku menyuci baju, membuatku malu untuk mengatakan aku mau buang air kecil. Entah kenapa secara sepontan aku menunduk malu. Karna yang aku lihat bibiku hanya menggunakan handuk ketika menyuci. Handuknya yang kecil, hanya bisa menutupi antara
buah dadanya dan di bawah selangkangannya. Itu memang biasa bagi sebagian orang di daerahnya, namun, aku masih saja merasa jengah jika melihat secara langsung. 

Tiba-tiba Bibiku menyapaku lebih dulu, "Mau ke sumur, Dan ...." tanyanya yang berhasil membuatku gugup bukan main. 

"Iya, Bi, aku mau pipis ....." Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan.

"Tunggu sebentar yah, Bibi geser dulu cucian, Bibi." Kata Bibiku sambil menggeser ember yang penuh cuciannya. Itu dia lakukan dengan berjongkok hingga memperlihatkan lekukan bokongnya yang bisa kubilang mulus.

"Ayo, udah di situ pipisnya," Bibiku menawarkan aku masuk ke kamar mandi. Namun aku ragu kenapa Bibi ku tidak mau beranjak dari tempatnya mencuci, malah ia meneruskan cuciannya dengan santai. Saat Bibiku sadar aku masih berdiri diambang pintu kamar mandi, dia mendongak dari cuciannya, "kok bengong sih, Dan? ayo katanya mau pipis, udah masuk!" Kembali bibiku menyuruhku masuk.

Kamar mandi Bibiku memang lumayan besar dan lebar, sehingga bisa untuk mencuci dan sebagian lagi untuk mandi. Sayangnya yang membuat aku ragu, antara tempat mencuci pakaian dan kamar mandinya hanya bertembokan setengah saja. Bisa dikatakan seukuran pinggangku juga tidak memiliki pintu penutup untuk yang mandi. Masih ragu, aku melangkah masuk kamar mandi. Aku kadang heran, kenapa Bibi membuat kamar mandi yang bisa digunakan untuk mandi juga mencuci. Bagaimana jika aku sedang mandi ada yang masuk? membayangkan hal itu, aku jadi bergidik sendiri. 

Aku mengerang lega saat air seni sudah mengucur keluar dari penisku. "Uuhhh, lega," desahku menutup mata. Suatu kebiasaanku yang sangatlah tidak baik untuk ditiru yaitu menahan kencing. Seharusnya hal itu tidak boleh dilakukan karena akan berakibat fatal pada akhirnya nanti.

Suara Bi Nenti mencuci sudah berhenti. Kulirik Bi Nenti yang berjalan keluar kamar mandi. Sepertinya Bi Nenti hendak berganti baju. Baguslah. Aku terlalu gugup jika harus melihat dia secara langsung dalam balutan handuk super mininya. Lebih baik aku mandi sekalian. Toh tidak akan ada yang masuk ke kamar mandi. Bi Nenti juga sepertinya akan lama.

Aku mengerang kesal setelah selesai mandi. Sialan! aku lupa membawa handuk. Bagaimana ini? Dani bodoh. Bagaimana bisa aku lupa membawa handuk? dan pakaian yang kupakai sudah basah semua. Dalam keadaan telanjang bulat, aku mengaduk-aduk keranjang cucian Bi Nenti. Siapa tahu ada dua potong pakaian nganggur kan? 

"Dani," lirih suara Bi Nenti menghentikanku dalam aksi mengaduk keranjang baju kotor dan spontan berbalik menghadapnya. Bi Nenti masih berdiri di ambang pintu dengan handuk kecil membelit tubuhnya. Dua potong pakaian tergenggam di tangan kirinya. "Kamu ngapain?" tanyanya lagi memperhatikanku lekat. 

"Eh, itu, Bi," aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Aku lupa bawa handuk." Kataku lagi yang membuat Bi Nenti mengangguk mengerti.

"Oh, bilang, dong," ucapnya. Dan hal selanjutnya yang membuatku terpaku adalah dia membuka dengan santai handuknya itu lalu mengacungkannya padaku.

Darahku berdesir hebat saat melihat betapa indah tubuh Bibiku itu. Payudaranya menggantung sempurna dengan tubuh yang sangat putih. Mataku bergerak turun menatap kemaluannya. Terdapat bulu halus menyelimuti selangkangannya yang membuat penisku berkedut menyakitkan. Damnit! Aku bahkan sudah tidak sadar kalau aku berdiri telanjang dihadapannya dengan penis berkedut-kedut. Aku adalah laki-laki dan wajar kalau aku terangsang oleh tubuh Bibiku sendiri.

"Bi," aku tidak bisa berkata apa-apa lagi saat Bi Nenti berjalan selangkah demi selangkah mendekatiku. Senyum manis terukir di bibirnya. Dia berjalan anggun dengan buah dada yang bergerak seirama langkah kakinya. Double shit! I can't handle it anymore! shit! shit! shit! 

Tanpa perintah, kakiku bergerak maju mendekatinya lalu bibirku menyerbu bibirnya. Merasakan bibir penuhnya dalam bibirku. Tanganku bergerak mengusap payudaranya. Memainkan putingnya yang sudah menegang entah sejak kapan. 

"Uhhh ... Dani," erangan yang lolos dari bibirnya membuatku semakin menggila. Aku mendorongnya ke dinding kamar mandi yang ada di samping kiriku. Bibirku bergerak menghisap kuat lehernya lalu berpindah ke payudaranya.

"Bi, indah banget," gumamku memainkan sekitar puting payudaranya tanpa berniat menyentuh putingnya yang semakin menegang.

"Sshhhh ... buruan, Dani. Hisap! aku nggak tahan!" Bi Nenti meracau tidak karuan ketika aku terus memainkan putaran putingnya. 

"As you wish, My Queen ...." kataku dengan bahasa inggris yang lumayan fasih kemudian menghisapnya. Ahhh! sial! putingnya nikmat sekali. Puting yang menegang itu seakan penuh di mulutku. Uh! sial! aku tidak tahan lagi!

Terburu, aku mendorongnya hingga merebahkan diri di samping ember cucian tanpa melepas hisapanku di putingnya. "Dan," panggilan lembut serta remasan kuat di penisku membuatku mengerang nikmat. Remasannya begitu menakjubkan.

"Cairan pre-cum kamu udah keluar," bisik Bi Nenti di telingaku saat aku memberikan kissmark di seputara puting payudaranya. Hmmm... nikmat sekali! "Penis kamu besar juga, mmmm, Bibi mau merasakannya di dalam Bibi, gimana?" bisik Bi Nenti lagi.

Kata-kata Bi Nenti tersebut membuatku semakin terangsang. Bisa kurasakan penisku berkedut menyakitkan mencari tempatnya. tanpa pikir panjang lagi, aku melebarkan kedua paha Bi Nenti. Aku mengerang tertahan ketika melihat betapa merahnya bibir vagina itu. Ah, bukan merah, melainkan merah jambu alias pink. Astaga! aku belum pernah melihat yang seindah ini. Saat aku menyentuhnya, vagina itu terasa sangat basah. Pasti Bi Nenti juga sama denganku, cairannya sudah keluar. Cairan yang menempel di tanganku tanpa kupikir panjang lagi kuhisap. Uh, rasanya sungguh nikmat.

"Dani! cepetan!" gertakan dari Bi Nenti membuatku menatapnya. Wajah cantik Bi Nenti diliputi kegairahan yang sangat dalam.

Aku terkekeh pelan, "sabar, sayang, ponakanmu ini, kan, mau lihat bagaimana bentuk vagina indah ini." Kataku mengelus pelan klitorisnya.

"Dan, cepet, aku nggak tahan," erangnya menarik penisku ke arah vaginanya hingga membuatku ikut mengerang pula.

"Oke, sayang, siap ya,"
Kuarahkan penisku di liang vaginanya dan masuk dengan mudah. Penisku amblas ke dalam dirinya. Erangan keluar dari mulut kami berdua ketika aku memompa dalam tempo lambat. Sial! Bibiku ini walaupun sudah mempunyai anak, vaginanya seakan baru. Kembali aku mengerang saat kurasakan vaginanya meremas kuat penisku.

"Arrggghh, Bi! uuuhhhhh ...."

"Dan, penismu nikmat. Penismu besar. Mmmmhhh ... terus, Dan, yang kuat, Dan,"

Racauan Bi Nenti membuatku semakin kuat memompa ke dalam dirinya. Dan semakin kuat aku memompa, semakin kuat pula remasan vaginanya pada penisku. Aku memang rajin berolahraga. Tidak jarang aku melakukan treadmill atau latihan fisik seminggu tiga kali. Maka tubuhku bisa terbentuk lebih besar daripada ukuran remaja pada umumnya.

Tanganku tidak mau tinggal diam. Aku meremas kedua gundukan payudaranya dengan kedua tanganku. Memainkan putingnya, meremas, mencubit lalu menarik-narik puting payudaranya berulang kali. Aku terus memompa ke dalam dirinya dengan kuat hingga payudaranya bergoyang-goyang ketika aku memompa.

"Arrrrgghhh ... Dan!"

"Ya, sayang?" tanyaku. Tanganku kiriku beralih memainkan klitorisnya. Memijat klitorisnya hingga Bi Nenti menggelinjang tak tentu arah. Kedua tangannya meraih pinggiran ember cucian sebagai pegangan.

"Terus, sayang, terus! aku mau keluar!" Racau Bi Nenti.

Sesuatu dalam diriku seakan ingin tumpah. Lebih tepatnya isi di dalam kedua buah zakarku. Mereka ingin memuntahkan laharnya segera. "Ya, kita keluar bersama, sama-sama,"

"Keluar di dalam saja, Dan. Bibi mau merasakannya, ayo, Dan," perintahnya itu membuatku semakin bersemangat memompa. Aku bergoyang maju mundur dengan kuat hingga Bi Nenti berteriak-teriak tidak karuan.

"Arrrggghhh!" teriakku, "sialan! bangsat! vagina Bibi enak. Sialan!" aku terus memaki-maki mempercepat gerakanku hingga kurasakan spermaku keluar di dalam diri Bi Nenti lalu di susul cairan hangat Bi Nenti sendiri.

kuatur nafasku yang memburu. Olahraga yang sangat efektif di pagi hari. "Kita harus mengulangi lagi, Bi, kapan-kapan." kataku mengusap pelan bibir vaginanya yang mengaliri spermaku juga cairannya sendiri. Wow, ternyata banyak juga spermaku yang keluar.

Bi Nenti bangkit dari posisinya lalu memelukku hingga kurasakan vaginanya mendesak penisku--hampir masuk ke dalamnya. Penisku yang setengah tegang, menjadi tegang kembali. Sial!

"Sekarang saja kita ulang. Tapi, di kamar, Bibi." Bisiknya mencium telingaku namun aku ragu. Bagaimana kalau orangtuaku tahu? "tenang saja, orangtuamu pergi diajak anak-anak Bibi ke pasar. Satu jam kita sex lagi, lumayan."

Aku menatap Bi Nenti penuh gairah lalu mencium kuat bibirnya. "Oke, Bi, aku bakalan buat Bibi melayang. Aku buat Bibi orgasme berulang kali karena penisku yang ... arrrgggghhhhttt ...."

Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku karena penisku sudah tenggelam lagi di dalam diri Bi Nenti. Tanpa melepas penisku dari dalam dirinya, aku mengangkatnya dalam gendonganku. Beruntung aku kuat menggendong tubuh sintal Bi Nenti hingga mencapai kamar. Lalu, kami melanjutkan lagi aktifitas pagi kami yang menggairahkan.

1 komentar: