Jumat, 26 Februari 2016

Black Forest #2

Suara burung kadasih terdengar nyaring mengalun membuat bulu tengkuk berdiri. Desiran angin menghempas dedaunan pun turut serta mencekamkan suasana malam itu. Welhem tergugu dengan nafas tidak teratur terasa mencekik leher. Ia menopang kedua tangannya diatas lutut. Hatinya dilema apakah harus kembali pulang atau mencari Jakob. Tapi tidak mungkin  ia mencari sendiri. "Sebaiknya aku keluar saja dulu mencari desa terdekat untuk meminta pertolongan!" batinnya. (Kisah sebelumnya)


Wellhem akhirnya sampai di sebuah Desa tak jauh dari hutan itu. Dengan nafas tersengal-sengar dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu salah satu rumah penduduk. Seorang lelaki manula membuka dan mempersilahkan masuk. Seorang wanita paruh baya keluar dari ruang dapur membawa dua cangkir minuman hangat. Ternyata mereka adalah sepasang manula bernama Paman Albelt dan bibi Nadetta

Welhem bersyukur ia bisa diterima untuk bermalam sementara di rumah itu. Sepasang manula yang sangat baik hati dengan wajah ramah dan selalu tersenyum memandang wajah Wellhem ketika ia sedang menyeruput kopi buatan Bibi Nadetta.

"Slusurrrp....ah....mantap!!!" Welhem menikmati itu. Rasanya sangat segar ketika tenggorokannya ter-aliri air kopi hangat itu. "Terima kasih Paman!" ujar Welhem lalu menaruh cangkir kopi itu di atas meja. Paman Albelt dan Bibi Nadetta menyeringai tersenyum. 

"Em...oh yah, Paman dan Bibi hanya tinggal berdua di rumah ini?!" Wellhem mulai membuka mulut untuk mengawali pembicaraan. Paman Albelt dan Bibi Nadetta hanya mengangguk lalu tersenyum dingin ketika Welhem bertanya seperti itu. Welhem celingak-celinguk melihat keliling ruang itu, memang tidak ada siapa-siapa lagi kecuali Paman Albelt dan Bibi Nadetta.

Wellhem lalu menyantap makanan yang disediakan oleh kedua manula itu. "Paman, Bibi, aku makan yah, hidangannya!" berkata Welhem. Kedua manula itu pun mengangguk sambil tersenyum dingin. Tampa sepengetahuan Welhem, kedua bola mata manula itu menguarkan kilatan sinar putih. Mereka saling berpandangan dingin ketika Wellhem menyantap makanan kering yang diberikannya. 

Tiba-tiba Welhem terbatuk-batuk, "Gruk, gruk!" Kembali kedua manula itu berpandangan dan menguarkan kilatan sinar dari kedua pelupuk matanya. 
Bibi Nadetta mengambilkan minum ke Wellhem. "Minum dulu, adik jadi keselek, maka itu jika mau makan berdoa dulu!" Bibi Nadetta berkata begitu. Wellhem pun dengan keceguk-keceguk segera meminumnya.

"Ia maaf Bibi, aku terlalu terburu-buru makannya, hehehe..." jawab Wellhem menyeringai. "Oh yah, kalian belum menjawab pertanyaanku. Apakah hanya kalian saja yang tinggal di rumah ini?!" tanya Wellhem kembali.

Sontak kedua manula itu mengangguk secara bersama-sama. Tampa bicara menjawab ketika Wellhem bertanya seperti itu. 

"Baiklah, karena malam sudah larut, apakah aku boleh menginap di rumah ini?" kembali Welhem mempertegas. Kedua manula itu pun kembali mengangguk sambil lontarkan senyum dingin, sedingin salju.

Lalu Paman Albelt bangkit dari duduknya sambil berucap, "Silahkan saudara Welhem menempati kamar yang paling ujung di lorong sana!" Sambil menunjuk kearah lorong dimana setiap sisinya ada beberapa pintu. Rupanya rumah itu sangat besar walau hanya ditempati mereka berdua. 

Welhem pun beranjak dari duduknya dan permisi untuk beristirahat karena tubuhnya sudah mulai letih. Ia segera menuju kamar itu yang ditunjukkan oleh Paman Albelt. Ketika Wellhem berjalan menuju kamar itu, Paman Albelt dan Bibi Nadetta saling bertatapan dan menyeringai seolah-olah senang atas kehadiran Welhem di rumahnya. Kedua manula itu menoleh keatas meja dan menatap makanan dan minuman Welhem. Aneh, makanan itu berubah menjadi potongan tubuh manusia jari-jari tangan, bola mata dan usus yang sudah dipotong-potong. Kedua manula itu tersenyum melihatnya lalu mengeluarkan sinar putih mencelat dari pelupuk matanya.

Bukan haya makanan yang berubah, tapi juga gelas berisi minuman yang Welhem kenakan itu berubah menjadi warna merah darah. Ketika Wellhem masuk kedalam kamar, sontak pula ruangan itu berubah menjadi berantakan dan rapuk penuh debu dan sarang laba-laba.

Wellhem merebahkan tubuhnya yang dirasa ringkih. Ia melupakan sejenak hilangnya Jakob dengan cepat dan misterius. Kantuk berat dirasakan, tak lama kemudian ia pun terlelap.

***

Pagi bersinar dengan malu-malu di kota tua Staufen. Lima mahasiswa Josef, Hagan, Kief, Delana dan Amilia adalah mahasiswa yang mempunyai hobi berpetualang di alam bebas. Mereka adalah pecinta alam yang paling aktif di kampusnya itu selalu menjadi agenda wajib setiap masa orientasi mahasiswa baru. Namun kali ini mereka mencoba untuk merasakan keganasan alam Black Forest yang belum pernah rasakan dan jelajahi.

Josef dengan tubuh besar dan berurat itu dipercaya menjadi pemimpin anggota. Walaupun sebagai ketua, namun dia belum mempunyai pengalaman yang mumpuni dalam menjelajah hutan rimba. Hanya saja tenaganya yang besar bisa di andalkan untuk mengangkat barang yang berat-berat.

"Apakah sudah cukup persiapan makanan unuk di dalam sana?" tanya Josef kepada Delana sebagai seksi kosumsi. 

Delana adalah wanita dengan karakter anggun dan lemah lembut. Ia sebenarnya tidak suka sebagai pecinta alam, tapi karena kegiatan kampus yang dia suka satu-satunya, akhirnya Delana ikut juga dalam program itu. Delana anaknya manja kepada kedua orang tuanya dan mudah menangis jika di bully oleh rekan-rekannya di kampus.

"Sudah Jos!" jawab Delana kepada Josef.

"Tim teknisi dan peralatan, apakah sudah cukup dan tidak ada yang lupa!" Josef kembali bertanya, namun pertanyaannya ditujukan kepada Hegant dan Kief. Mereka adalah mahasiswa senior dalam berpetualang di alam bebas. Mereka berpengalaman dalam hal ini. Mereka juga pernah sampai ke pucuk gunung elves. Tapi mereka tidak berani kepuncak gunung merapi di Indonesia karena takut terkena awan panas.

Hegan mempunyai tubuh atletis kecil berisi. Ia gemar bermain game online yang berhubungan dengan pertualangan seperti Crominal Case. Kekurangannya adalah sangat takut dengan dunia astral alias takut dengan kegelapan. Sedangkan kali ini dia berani mengikuti karena bersama Keif yang banyak makan manis dan pahitnya di gunung yang ia jelajahi.

Sedangkan Keif mempunyai tubuh kurus namun lincah. Ia gemar panjat tebing walaupun jarang mencapai puncak karena nafasnya yang mudah ngos-ngosan alias pendek nafas. Maklum Keif suka merokok, walaupun dilarang oleh kedua orangtuanya, namun ia tetap membandel.

Mereka menjawab. "Sudah Josef. Semua peralatan sudah kami persiapan dari tambang sampai sebilah pedang dan senjata angin pun sudah kami siapkan."

"Bagus!" jawab Josef. "Lalu bagaimana dengan Amelia. Apakah segala alat-alat masak sudah komplit, walaupun sebuah cangkir!?"

Amelia mengangguk petanda sudah komplit semua alat-alat yang diperlukan di dalam sana. Termasuk tenda. Amelia seorang gadis yang tomboy dengan penampilan cuek dan berwajah masam dan kurang sedap di pandang. Karakternya laksana cowok itu, menambah panjang nasibnya dalam mencari jodoh. Banyak lelaki yang tidak suka dengannya karena bermuka kecut. Tapi Amelia mempunyai sifat dermawan dan royal kepada teman dan sahabat-sahabatnya.

"Baiklah," kata Josef. "Karena semua sudah siap dan tak ada yang tertinggal, untuk itu mari kita berangkat dengan hati gembira. Okeee...."

"Hom-pim-pa!" sambung Hegan, seraya mengulurkan tangannya dengan merentangkan telapak tangannya lalu disusul keif, Delana, Amelia dan ditutup oleh Josef menyatukan telapak tangan mereka melakukan gambreng dalam persatuan dan kerja samanya...

Berangkatlah mereka menggunakan mobil chateran pickup terbuka. Suasana pegunungan yang membuat  Dalena mengangguk-angguk karena kantuk dirasa, makkum Delana selalu hidup penuh kemewahan di rumahnya. Sedangkan wanita tomboy itu yang tidak lain adalah Amelia, ia sangat menikmati perjalanan itu. Pemandangan yang indah dan bagus bisa menyegarkan pandangannya dan menghilangkan kepenatan selama ini. 

"Hai lihat!" sentak Amelia berseru membuka pembicaraan. Ia menunjuk kearah air terjun nan indah dikejauhan terlapis warna pelangi menikung. "Lihatlah pelangi itu, sangat indah!"

"Ya...mantab...fantastic!" ujar Hegan, ia merangkul Amelia.

"Woe...tangannya yang sopan yah..." kata Amelia sembari menurunkan rangkulan tangan Hegan. Lelaki itu menyeringai. "Indah, indah, ea indah tanganmu nakal Hegan...." 

"Sedikit sayang...!" kilah Hegan.

Brakk...

"Hegan, kamu membuat Josef cemburu!" celetuk Keif. 

Spontan Josef menjawab sengit. "Ambill....hahaha!" 

Semua itu hanyalah guyonan belaka sebagai satu tim pecinta alam. Mereka hanya mengutamakan persahabatan ketimbang percintaan. Percintaan hanyalah jika berkesempatan di waktu-waktu tertentu. Itu pun secara spontan dan saling suka sama suka, bukan berdasarkan cinta.

Melihat Delana terkantuk Josef mencoba mengajaknya berbicara. "Hai... Delana, kamu tidak menikmati keindahan alam ini?!" 

Delana memicingkan mata lalu menoleh kekanan dan kekiri. Dilihat hanya bongkahan batu dan pucuk gunung yang terlihat samar karena tertutup awan kabut. Dalena merapatkan jaketnya. Ia merasa kedinginan. "Kita sudah sampai yah?!" katanya.

"Belum Delana, perjalanan kita masih jauh," jawab Josef. "Hanya saja sayang kamu tidak menikmati keindahan alam ini."

"Aku ngantuk sekali Jos!" ujar Delana, "aku selalu ngantuk kalau naik kendaraan." 

"Emang kamu semalam kurang tidur?" tanya Josef seru.

"Tidur cuma bangunnya kecepatan hehehe..." jawab Delana tersenyum menyeringai.

"Ah kamu tukang molor juga sama seperti aku, hahaha..." balas Josef tertawa.

"Eh-minum ini!" Amelia menyodorkan kopi kaleng yang ia bawa. "Seger nih kalau ngopi, sayang kopinya kopi kemasan kaleng jadi tidak panas."

Delana meraih kopi kaleng itu lalu diseruputnya.

"Bagi dong..." Yang berkata Hegan. "Aku juga ingin kopi."

"Aku juga!" sambung Keif.

Tampa disadari Delana, ia meneguknya sampai habis. "Yah... kehabisan!" berkata Delana sambil menunjukan kaleng bahwa sudah habis.

"Uh... dasar tukang ngelindur, bangun-bangun ngopi sekali teguk!" hardik Hegan. "Becanda sayang..." katanya lagi sembari sunggingkan senyum.

"Tenang aku masih ada," berkata Amelia sembari menguarkan kopi kemasan dengan merk yang sama. "Nih!" katanya sambil memberikan kepada Hegan. Tapi ketika Hegan mau meraihnya, tiba-tiba kaleng kopi itu berpindah ke tangan Josef dengan cepat.

"Aku dulu sebagai ketua ha .. ha .. ha .."

"Fuck you kau Josef." umpat Hegan kecutkan wajah. "Sisain, kau sebagai ketua seharusnya mengalah."

"Hahaha...tenang aja aku sisain...." kata Josef, "Delana, kamu mau lagi?!" Josef menawarkan Dalena dengan maksud mengejek Hegan.

"Sompret, gue yang kepengen, malah nawarin orang!" kembali Hegan mengumpat. Sedangkan Delana hanya tersenyum nyi-nyir melihat tingkah laku Josef kepada Hegan.

"Sudah, aku sudah kenyang hehehe..." menyeringai Delana, sehingga tampak lesung pipi terlihat cantik di pandang mata. "Tapi...kalau emang masih ada, ya ingin lagi sih..."

"Uh dasar, tukang tidur sama gembul!" sahut Keif.

Mobil sudah memasuki pintu gerbang pertama hutan Black Forest. Sang supir menghentikan kendaraannya, lalu berkata. "Saya rasa, cukup sampai disini saja. Saya tidak berani terlalu jauh, toh kalian tujuannya mau kehutan itu. Sedangkan saya harus pulang kembali. Saya takut kemalaman!" ujar sang supir panjang.

"Baiklah!" kata Josef. "Oke kawan-kawan kita turun disini. Kita jalan menuju pintu masuk kedua. Mereka pun dari mobil pick up dengan sedikit malas, maklum keasikan duduk di mobil, walaupun seperti sekumpulan kambing domba untuk dibawa ke pasar induk.

Mobil pick up itu pun berbalik arah untuk menuju pulang kembali. Suara menggerung ketika mobil itu tari gas dengan menyentak. Tikungan pun dilalui, tetapi tak berapa lama terdengar suara BRAAAK... Sontak anak-anak pun terkejut. 

"Apa itu Jos!" pekik Hegan sambil menoleh kearah Josef. Josef hanya tergugu. Lalu berkata.

"Coba kita lihat! Jangan-jangan, jangan-jangan!!!"

"Jangan-jangan apa?!" timpal Keif sengit.

Josef lantas berlari menuju tikungan itu untuk melihat apa yang terjadi pada mobil pickup yang mereka tumpangi. Disusul oleh yang lainya mereka turut Josef berlari kecil. Begitu sampai ketikungan Josef melihat kejurusan jalan tapi tidak terlihat apa-apa. Lalu ia mencoba menoleh kekiri jalan yang memang ada jurang.

Josef pun melongok kebawah jurang itu, sontak berteriak. "Ahhh....!" 

Yang lain pun turut melongok kebawah jurang itu. "Ya Tuhan!" pekik Hegan ketika melihat mobil pickup itu berada di bawah jurang dalam posisi mengecuk. "Tidak! Ahh... Aku tidak percaya!" seru Hegan sambil mengucek-ngucek rambut kepalanya, lalu menutup muka dengan telapak tangan. Ia ngeri melihat itu. Begitupun Josef ia sempat lemas lututnya. Sang supir mungkin tewas di tempat. 

"Jadi!" kata Keif kejut. "Jadi mobil itu terjun ke jurang?!" Hegan mengangguk. Sedangkan Delana dan Amila tak berani melihat. Josef duduk di tepi jurang itu lalu berkata. "Jurang itu tak terlalu curam, kita harus menolongnya."

"Pak supir pasti tewas!" berkata Hegan.

"Mudah-mudahan tidak! sahut Josef. "Bagaimana kalau kita turun untuk menolong. Mungkin dia masih bisa tertolong."

Anak-anak saling berpandangan. Ada keraguan untuk turun menolong. Namun Hegan tak tega, benar juga apa yang dikatakan Josef, siapa tahu sang supir masih bisa tertolong. Hegan pun berkata. "Oke...kita turun, apakah Pak supir itu masih hidup. Tapi aku rasa tak mungkin!"

"Setidak-tidaknya kita bisa lihat keadaannya dan segera kita minta pertolongan." yang berbicara adalah Keif. Josef mengangguk.

"Baiklah, aku akan turun." seru Josef.

"Aku juga!" sambung Hegan, ia segera menurunkan tas rangselnya.

"Hati-hati Hegan!" berkata Amelia, penuh perhatian. 

Hegan dan Josef segera turun. Jurang itu tak terlalu curam. Masih bisa untuk menapak agar tidak terperosok. Hegan memegang ranting karena ia Hampir terjungkal. Sedangkan Josef denga tubuh besarnya juga hampir saja terperosok. Tapi bisa dikendalikan. Sekira dua meter lagi Josef dan Hegan sampai ke mobil itu keadaan kepala di bawah alias mengecuk.

"Hati-hati Josef...Hegan!" pekik Keif, ia hanya menyaksikan dari atas. Padahal ia paling jago dalam panjat tebing. Tetapi enggan untuk turun. "Sediakan tali!" pekik Josef. "Sediakan tali!" sambung Keif kepada Delana dan Amila. Mereka sigap menguarkan tali yang memang sudah disiapkan sedari rumah. 

Josef dan Hegan sudah berhasil mendekati mobil. Di posisi belakang mobil Josef melongok kedalam. Terlihat kaca depan mobil yang rembas. Josef kembali merangkak dan berhasil duduk di bak mobil itu meskipun keadaan bertiarap karena posisi mobil berdiri. "Hati-hati Jos!" kata Hegan ia merangkak dari samping mobil. Mereka pun berhasil mendekati moncong mobil yang naas itu.

Hegan berhasil mendekati pintu mobil, ia segera melongok kedalam. Lalu berteriak.

"Hai Jos, supirnya tidak ada!"

"Apa!" seru Josef.

"Mobil ini kosong. Supirnya tidak ada!" jawab Hegan penuh heran.

Josef juga melongok kedalam mobil. Ternyata benar, sang supir tidak terlihat. Mobil benar-benar kosong. Jika sang supir tewas, pasti mayatnya ada. Bahkan mobil itu terlihat sangat parah, sehingga moncong depan saja sampai merangsek kedalam. Seharusnya sang supir terjepit. Tapi sang supir benar-benar tidak ada. Bahkan darah pun tidak berjejak.

"Apakah dia melompat!" berkata Josef.

"Bisa jadi!" ucap Hegan sengit. Tapi mereka celingak-celinguk menoleh kanan kekiri tidak ada tubuh yang tampak tergeletak. Jeosef pun memanggil keras. " Pak Supiir...Pak Supir..." Tidak ada jawaban. Begitupun Hegan ia berteriak lantang namun tak ada tanda-tanda.

Josef menoleh kearah kiri, ia sempat melihat bayangan berkelebat cepat lalu masuk kedalam semak-semak. "Eh..." serunya. "Ada apa Jos?" bertanya Hegan... Josef penasaran merasakan ada keganjilan melihat bayangan itu berkelebat cepat. 

"Jos, sebentar lagi hampir petang. Apakah kita tidak kemalaman!" ujar Hegan ia mendongak kelangit. Ternyata hari sudah mulai senja. "Kita akan telambat memasang tenda Jos!"

"Woe...Josef...Hegan... Kenapa lama amat kalian di bawah. Ada apa gerangan...." berteriak Keif. "Cepetlah naik.!" 

"Bagaimana Jos!" bertanya Hegan kepada Josef.

Belum saja mengatup bibir Hegan tiba-tiba dari atas seperti ada yang terjatuh lalu bergelinding tepat di depan Hegan. Berbentuk bulat itu seperti bola, lalu tergelicir kelubang kecil setelah jatuh di hadapan Hegan. "Apa itu?!" pekik Hegan terkejut.

"Ada apa!" tanya Josef sempat juga melihat bentuk bulat menggelinding dari atas.

"Sebentar aku lihat." Hegan menuju lubang kecil itu. Jerami menutup di sisikannya. Lalu Hegan terbelalak dan berteriak pecah apa yang baru saja dilihatnya. "Aaahhh..." Hegan menunjuk kearah lubang itu dengan tergagap. "Ke, ke, ke kepala....!" ia segera beringsut kebelakang. "Jose.... Itu kepala...itu kepala...itu kepala supiir....Jos...."

Josef terhenyak apa yang dikata Hegan. Dengan sengit ia menghampiri Hegan dan melihat apa yang dikatakan Hegan. Ternyata benar, benda bulat bergelinding itu ternyata kepala manusia. Kepala sang supir mobil pickup. Josef memandang wajah Hegan sejenak, lalu berkata. "Apa yang akan kita lakukan.

Sebelum Hegan menjawab tiba-tiba sepotong tangan jatuh "Plak..." sontak mereka terkejut. "Apa-apaan ini." Kini tangan sebelah kanan sang sopir. "Ahhh....!" Pekik Josef dan Hegan. 

Keif, Dellana dan Amelia yang sedang berada di atas mereka turut terkejut mendengan Josef dan Hegan berteriak.

"Jos...Hegan...Ada apa dengan kalian!"  Mendengar teriakan Keif, Josef menjawab. "Diatas, aman kah?" Maksud Josef bertanya seperti itu, karena potongan tubuh sang sopir jatuh tepat di atas dimana Keif, Delana dan Amelia berdiri.

"Aman... ada apa sebenarnya di sana!" jawab Keif memekik.

"Cepat ulurkan tali Keif!" teriak Hegan. Keif lantas mengambil gulungan tambang yang memanh sudah dipersiapkan. Lalu mengulurkan kebawah dimana Josef dan Hegan berada. "Ini," seru Keif.

Setelah tambang terurur, Josef mengambil ujung tambang itu untuk menarik dirinya. Kail dililitkan di tubuhnya. Lalu menyentak tali itu sebagai isyarat siap untuk ditarik keatas. "Cepat Jos, setelah itu, segera turunkan kembali tali tambangnya. Josef lebih dulu naik keatas. Sedangkan Hegan menunggu giliran, maklum Josef mempunyai tubuh yang besar sehingga sangat sulit untuk naik keatas kalau tidak menggunakan tali.

Baru setegah jalan, tiba-tiba Josef tersentak ketika memandang sebuah lubang di antara tebing yang ia naiki. Namun yang membuat Josef terperangah adalah, tiga orang manusia kate di lubang itu sedanh menyantap seperti daging. Mereka sangat lahap dan rakus. Manusia kate itu sangat kotor. Mereka hanya mengenakan daun kering untuk menutup kemaluanya. Josef tergugu lama memandang karena terkesima. Tak lama kemudian, Hegan menyentak dari bawah. "Jos, apa yang kau lihat?!" Sontak Josef tersadar, bersamaan dengan kesadarannya, tampa disadari pula, ia melepaskan pegangan tali itu. "Aaah.....!"

"Jos....!" Hegan berteriak ketika tubuh Jose kembali meluncur kebawah. Untung Josef masih bisa mengendalikan sehngga jatuhnya tidak terlalu keras. Hegan pun sempat menangkap tubuh Josef, karena Hegan berada di bawahnya.

"Apa yang kamu lihat Jos?!" seru Hegan bertanya. Josef tidak langsung menjawab. Nafasnya masih tersengal-sengal, wajahnya pun terlihat pucat memutih. "Jos, ada apa, kenapa kamu terkejut?!"

"Sebaiknya...sebaiknya kita segera naik keatas. Cepat!" Josef langsung meraih tali kembali. "Kamu pegang senjata!" tanya Josef ketika kakinya mulai menapak tebing untuk kembali naik.

"Ada! Pisau belati!" jawab Hegan sambil menguarkan pisau belati yang bersarung dari pinggangnya.

Perlu diketahui. Ketika Josef melihat makhluk kate sedang menyantap daging dari tubuh sang supir, mereka tidak melihat Josef karena dinding berlubang itu terlalu kecil. Dan makhluk kate itu sebangas binatang yang mirip orang hutan. Namun sangat ganas. Giginya bercaling dan kukunya panjang-panjang dan beracun. Namun makhluk ini takut terhadap manusia, kecuali diganggu. Kejelasannya adalah makhluk kate ini bukanlah makhluk astral atau manusia kanibal. Tetapi memang binatang yang mirip seperti manusia.Dia suka makan daging, bukan hanya daging binatang tapi juga daging manusia.

Lalu kenapa supir pickup itu tersuruk kejurang.

Ketika sang supir menikung, tiba-tiba ada orang kate itu menyebrang, membuat sang supir gelagaban lalu membuang setir sehingga mobil itu tersuruk kedalam jurang. Sang supir pun tewas. Melihat itu, tak lama makhluk kate itu berkerumun lalu membawa tubuh sang supir untuk dijadikan santapan.

Setelah Josef dan Hegan berhasil naik dan kembali berkumpul bersama Keif, Delana dan Amelia, mereka tidak menceritakan pada ketiga temannya itu. Ada rasa ketar-ketir di hati Josef dan Hegan, apakah harus membatalkan kegiatan itu dan kembali pulang atau terus sampai kedalam hutan Black Forest. 

Dalam keterangannya kepada ketiga kawan-kawannya itu, Josef menuturkan kalau sang supir tewas dan sulit untuk dikeluarkan dari dalam mobil. Lalu Hegan menimpali agar anak-anak tidak perlu khawatir karena semua itu hanyalah musibah biasa akibat keteledoran sang supir pickup yang mereka sewa untuk menuju hutan ini.

Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju pintu kedua dari gerbang pertama untuk mencapai hutan Black Forest. Amelia tampak merasa kelelahan begitupun Delana sudah sangat letih, mereka berdua akhirnya angkat bicara agar beristirahat sejenak. "Jos, aku capek, bagaimana kalau kita beristirahat dulu." kata Amelia. "Sama aku juga letih dan haus!" timpal Delana.

Josef dan Hegan yang sedari tadi hanya berdiam seribu bahasa karena masih teringat akan kejadian tadi yang menimpa sang supir, akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di tempat itu.

"Sebaiknya kita bermalam di sini saja!" yang berkata Hegan.

"Ya benar, aku juga sedikit pusing!" timpal Keif pula.

***

Malam bertambah gelap dengan tertutupnya bulan separuh terpapas awan hitam yang menggulung menambah mencekam. Suara derik jangkrik pun mendendangkan sehingga malam itu terasa yang amat sangat sunyi dan hening dari keramaian.

Suara desir angin mengkresek dedaunan pula. Anginnya dingin mencucuk sampai ketulang sum-sum. Anak-anak berselimut jaket tebal masih saja tertembus dingin. Dalena dalam lamunannya tertuju kepada kedua orang tuanya. Ia baru merasakan jauh dari orangtua ternyata kurang enak. Atau memang Dalena tidak terbiasa hidup jauh dari keramaian, sehingga terasa tidak betah di hatinya membuat ia ingin pulang kembali.

Melihat Hegan termenung di depan apin unggun, Dalena menghampiri lalu berkata pelan. "Hegan, antarkan aku pipis." Dalena sudah tidak tahan ingin membuang air kecil. Tetapi dia tidak berani. Hegan mengangguk pertanda mau. 

Mereka berjalan mencari semak yang tidak jauh dari tenda. Setelah dirasa sudah nyaman untuk membuang air kecil, Dalena lantas membuka celananya. Hegan serba salah lali ia memalingkan wajahnya kejurusan lain. Tapi Dalena menyentak. "Hegan, lihatin aku, aku takut!" 

Hegan menjawab, "Kamu tidak malu aku lihatin!" 

"Tidak!" jawab Dalena. Ia segera menongkrong. 'Seeer......' "Adehh....plong dah rasanya" ujar Dalena menyeringai puas karena sudah pipis.

Hegan sempat melihat bokong Dalena yang putih di balik gelapnya malam. Ada rasa hasrat ketika melihat itu. Timbulah rasa ingin bercinta. Namun itu tidak mungkin. Bisa saja Hegan mengajak Dalena untuk melakukan seks di balik semak-semak itu. Tapi apa kata kawan-kawan yang lain jika ketahuan. Akhirnya Hegan melepas pikiran itu. Dan juga penulis lagi malas nulis adegan seks-nya.

***

Kita kembali ke cerita Welhem yang sedang bermalam di rumah manula. Ketika Welhem tertidur pulas karena teramat letih. Kedua manula itu memperhatikan dari balik daun pintu yang tidak terlalu rapat tertutup. Mereka tersenyjm dingin seakan-akan senang dan bahagia seperti mendapatkan emas permata. Ketika kedua manula itu mengintip, sinar putih mencelat dari retina kedua matanya.

Paman Albelt berucap pelan kepada Bibi Nadetta. "Aku akan pangil anak kita untuk menghisap darahnya. Setelah anak itu mati, siapkan bumbu untuk makan besar kita. Sudah lama kita tidak makan besar!" Bibi Nadetta mengerti apa yang dimaksud Paman Albelt. Ia tersenyum, lalu beranjak untuk mempersiapkan bumbu masak. Sedangkan Paman Albelt pergi keluar rumah dan menuju kesamping sisi rumah.

Di sisi rumah itu ada rumah ukuran kecil seperti kandang kuda. Pintunya terbuat dari besi dan terikat rantai ukuran besar serta gembok besar pula. Paman Albelt melirik kedalam sejenak. Lalu membuka gembok itu dengan sangat waspada dan hati-hati. Setelah gembok terbuka dan dilepaskan dari rantainya, Paman Albelt perlahan masuk kedalam.

Pasung, wanita terpasung itu menyorotkan matanya lalu menggeram dengan mulut terbuka sehingga tampak giginya bercaling. Paman Albelt berkata. "Anak-ku tenang, ada kabar gembira dariku. Minuman segar akan kuberikan padamu. Untuk itu, bersikap biasalah!" Paman Albelt membelai wanita terpasung itu yang tidak lain adalah putrinya. "Aku tahu kamu tersiksa di dalam sini. Maafkan aku anakku. Semenjak kau menjadi vampir, aku dan ibumu was-was akan kesehatanmu. Oleh karena itu, ayah berusaha mencarikan minuman segar. (Maksudnya darah manusia.) Tapi untuk kali ini, aku tidak susah-susah mencari. Kini minuman itu sudah ada di hadapanmu. Mari anakku!" Paman Albelt kembali membelai wanita itu lalu membuka pasungnya.

Wanita itu tersenyum walaupun terlihat buruk karena mempunyai gigi caling. Ia perlahan merangkak dari rumah pasungannya. Lalu berusaha berdiri secara perlahan untuk melenturkan urat-uratnya. Wanita itu pun berhasil berdiri. Senanglah hati Paman Albelt melihat putrinya tampak sumringah. Begitupun dengan Bibi Nadetta, ia melihat putrinya suduh tumbuh dewasa.

Ketika dipasung berusia 13 tahun, kini usianya sudah 17 tahun, empat tahun dalam keadaan terpasung. Waktu yang sangat lama bagi kedua manula itu untuk bercengkrama dengan putri kesayangan dan semata wayang. Semenjak sang Putri mengidap syndrom darah vampir, Paman Albelt dan Bibi Nadetta harus mencarikan darah manusia berjenis laki-laki.

Sudah sepuluh nyawa melayang. Paman Albelt dan Bibi Nadetta terpaksa harus turun gunung untuk membujuk manusia lelaki untuk berkunjung kepadanya. Setelah manusia lelaki itu terbujuk dengan di imingi bercinta dengan putrinya, siapa yang bisa menolak, setiap lelaki pasti tergiur jika di tawarkan bercinta.

Addof seorang pemuda lajang ini harus tewas mengenaskan ketika bercinta bernama Janette, yang tidak lain remaja putri dari pasangan Paman Albelt dan Bibi Nadetta. Ketika merasakan nikmatnya mensetubuhi gadis remaja itu seketika mati menggelepar dengan tubuh terkoyak-koyak dengan cakaran binatang puas. Tubuhnya memutih tampa darah karena habis terhisap oleh gadis remaja itu berjama Janetta. Lobang besar menganga di batang lehernya. Ia terhisap oleh makhluk vampir wanita teridikasi Syndrome.

Setelah itu, mayatnya di cincang oleh paman Albelt untuk dijadikan santapan besar. Isi perut diambil untuk dijadikan santapan binatang sebangsa manusia kate, tapi bukan manusia, semacam makhluk hewan berupa tubuh manusia. 

Welhem memdengkur dalam tidurnya. Rupanya ia sangat pulas sekali sehingga tidak mendengar suara derik pintu yang didorong oleh Paman Albelt. Sempat menguap lalu terlelap kembali.

"Sayang, suruh masuk anak kita!" bisik pelan Paman Albelt kepada Bibi Nadetta. "Inilah saatnya untuk meghisap darah lelaki itu, cepat!" Bibi Nadetta bergegas menarik lengan Janetta yang terikat dengan rantai yang sangat kuat. Janetta menggeram laksana binatang buas, tapi Bibi Nadetta mengerti, ia segera mengusap kepala Janetta, sehingga ia tidak meronta.

"Anakku, coba lihat! Itu minuman segar yang akan merubahmu cantik sementara. Aku tahu kamu sudah dahaga yang sangat amat. Jadi selagi tidur cepat hisap darah lelaki itu!" berkata Bibi Nadetta seraya membuka pintu. Senanglah raut wajah Janetta. Dengan menggeram pelan ia jalan dengan tangan merangkak menuju Welhem.

Paman Albelt dan Bibi Nadetta menyaksikan dengan senyum sedingin salju. Ada rasa ingin segera menyantapnya. Begitu pun Janeta, dengan pandangan tajam melihat Welhen yang tidur pulas, lalu ia mencium terlebih dahulu aroma bau badan Welhem "Emmm..." desisnya penuh buncah.

Grrrr.... Perlahan, Welhem hanya membalikan badannya. Letihnya membuat ia sangat pulas sekali sehingga matanya tak mau mendelik sedetik pun. Setelah Janeta mengendus aroma bau badan Welhem, Janetta tersenyum nyi-nyir lalu perlahan mulai membuka mulutnya. Tampaklah gigunya caling juga tajam, lalu ia menedekati tepat di leher Welhem dan tak lama kemudian.

Jlek....

Slurrlsup.....

Agghhrrr..... Welhem berteriak keras ketika terasa panas di leher. Ia mengusap cepat lehernya. "Aw....uh...uh...uh...panaaas....." pekiknya.

"Hiiii...hi...hi...hi...!" Janetta tertawa mengikik. Suaranya membuat bulu tengkuk merinding. Matanya memerah terkadang keluar sinar kilat mencelat. Welhem terperanjat kalang-kabut. Nafasnya tiba-tiba terasa pendek. Jantungnya juga berdegub kencang membuat urat-urat melemas tidak keculi lutut Welhem terasa tak bertenaga.

Namun Welhem berusaha untuk berontak ketika kesadarannya kembali normal. Ia membuang tubuhnya kesamping dengan cepat. Lalu berusaha berdiri dan melarikan diri walau lututnya masih terasa lemas akibat terkejut yang sagat amat.

Khuuf...

Berusaha berlari menuju pintu. Tapi ketika hendak beberapa langkah lagi menuju keluar pintu kamar, dengan tiba-tiba Paman Albelt dan Bibi Nadetta dengan wajah menyeramkan sudah menghadang di depannya. Tentu membuat Wellhem gelagapan kedua kalinya. Ia sempat kembali jatuh duduk akibat dengkulnya terasa lemas, namun ia segera menopangnya dengan tangan.

"Paman Albelt!" teriak Welhem terkejut. "Bibi Nadetta!"

Paman Albelt dan Bibi Nadetta kini berubah menjadi sangat seram. Mereka seperti zombie dengan pakaian compang-camping dan rambut kusut serta wajahnya yang berubah menjadi hitam laksana luka bakar dengan kulit mengelupas.

Namun yang membuat Welhem lebih takut lagi, Paman Albelt membawa pisau pemotong daging dengan sangat tajamnya. Sedangkan Bibi Nadetta membawa seutas tali, entah buat apa tali itu. Yang jelas buat mengikat tubuh Welhem, dan pasti pula akan dicincang oleh Paman Albelt dan dijadikan makanan lezat keluarga mitologi itu.

Buuk...

Janetta tiba-tiba menemplok di pundak Welhem sambil menguarkan suara menggeram. Lalu kembali mengigit lehar Welhem. Tapi kali ini Welhem lebih sigap. Ia dengan cepat pula membanting tubuh Janetta kesamping. Janetta pun terpelanting jatuh ke tanah dalam posisi punggungnya terhempas. Buuk...aggh.... Secepat pula Welhem menendang kepala Janetta dengan sangat keras, sehingga kepalanya tersungkur kebelakang lalu terbentur lantai "croot..." Darah keluar dari kepala Janetta menghampar ke lantai. Aneh, darahnya berwarna biru lendir dan bau pula.

Namun tak lama Janetta pun pingsan tak sadarkan diri. Geramlah kedua orangtuanya yaitu Paman Albelt dan Bibi Nadetta. Matanya meyorot tajam menggambarkan kemarahan yang sangat amat, sampai menguarkan kilatan. Nafas Welhem mulai tidak teratur, tetapi ia bisa mengendalikannya. Di sebelah pojok ada kursi yang sudah rapuk. Welhem bergegas mengambilnya lalu diangkat keatas tinggi-tinggi.

Paman Albelt maju untuk membabat Welhem dengan pisau potongnya. Tetapi Welhem lebih dulu menghantam tangan Paman Albelt dengan kursi itu sehingga pecah berantakan kursi yang memang sudah rapuh. 

Pisau potong yang digenggam Paman Albelt terpental jauh. Tidak mau lambat, Welhem segera memukul kepala Paman Albelt dengan sisa kayu kursi itu. Praak... Paman Albelt kesakitan lalu menggeram dengan suara melengking nyaring. Ketika Paman Albelt kembali tenang, tak lama kemudian seluruh tangannya berubah penuh bulu, matanya bertambah merah laksana bola api, lalu saat itu juga kuku-kukunya panjang-panjang.

Sreet...

Paman Albet memukul dengan cakarannya kearah muka Welhem. Beruntung Welhem sontak mengelak mundur, sehingga cakaran Paman Albelt yang membahayakan itu kasip hanya mengenai angin kosong. 

Buuk...

Tendangan dilayangkan tepat mengenai perut Paman Albelt sehingga ia terjatuh dengan bokong mencium lantai 'huuk..' tidak tinggal diam, Welhem kembali menendang, namun kali ini tendangannya tepat mengenai hidung Paman Albelt. Tulang hidungnya patah, ia meringis kesakitan.

Murkalah Bibi Nadetta. Lantas mendorong tubuh Welhem. Karena begitu cepat, Welhempun terpelanting mundur kebelakang lalu jatuh duduk. Beruntung, Welhem jatuh bersamaan Bibi Nadetta menubruk tubuhnya, sehingga Welhem hampir tertindih tubuh Bibi Nadetta.

Jatuhnya Welhem tepat di samping pisau potong milik Paman Albelt. Dengan mudah Welhem meraih pisau itu dan....

Crass....

Tertebaslah leher Bibi Nadetta sampai kepalanya kuntung lalu menggelinding dan berhenti di hadapan Paman Albelt yang sedang kesakitan memegang hidungnya yang telah rengkah. Darah mengucur berwarna hijau kehitam-hitaman menyembur dari batang leher Bibi Nadetta. Lalu tubuhnya tersuruk di atas tubuh Welhem. Dengan sengit, Welhem mendorong tubuh Bibi Nadetta yang tampa kepala itu kesamping tubuhnya.

"Uh...mampus kau!" sentak Welhem nafsu.

Ggrrrr....

Paman Albelt menggeram panjanh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Alangkah terkejutnya Welhem, Paman Albelt berubah menjadi manusia laksana srigala. Tetapi bukan srigala. Mungkin seperti manusia bermuka anjing. Dengan marahnya Paman Albelt menyerang dan menerkam Welhem.

Welhem bangun berdiri. Ketika Paman Albelt mendekat, dengan cekat ia segera memapaa pisau potong itu kearah wajah Paman Albelt. 'Sleeet...' Kulit wajahnya tergores dalam. Tak ambil waktu lagi, Welhem dengan keras membacok kepalanya "Crook..." zzssttt.....Darah menyembur hebat menggerayang keseluruh wajah Paman Albelt yang sudah menjadi manusia setengah srigala. 

Ia lantas menggaum dengan irama menyayat hening. Tak lama ia pun melosoh ke tanah lalu menggelepar kelojotan laksana disembeli. Lalu Paman Albelt tak bergerak lagi.

Untuk menyakinkan mereka sudah tak bernyawa. Welhem menggoyang-goyangkan tubuh Paman Albelt dengan kakinya. Sekira sudah memang tidak bernyawa, Welhempun keluar dari kamar itu, lalu keluar rumah Paman Albelt dan Bibi Nadetta juga anaknya bernama Janetta.

***

Dengan berjalan terhuyung-huyung lunglai, Welhem memegang lehernya yang terasa panas akibat gigitan Janetta bersyndrom Vampire. Rasa panasnya semakin lama semakin kencang lalu menjalar turun ke dada.

Dadanya tiba-tiba terasa sesak, matanya pun mulai berkunang ditambah gelapnya malam. Tapi Welhem terus berjalan. Sesekali ia terjatuh lalu bangkit kembali dan berjalan terus entah kemana, ia pun tak tahu.

Welhem merangsek ke semak-semak. Dia tidak perduli, karena merasa jiwanya sudah berubah. Ada yang tidak beres di rasakan semenjak lehernya terkena gigit Janetta. Psikologisnya menjadi kacau. Punya rasa berani terkadang takut lalu kembali berani. Oleh karenanya, Welhem tak perduli mau kemana tak ada tujuan. Ia sudah tidak perduli dengan marabahaya yang mengintainya di hutan hitam itu. Dia sudah tidak ingat dengan kawannya Jakob. Bahkan, dia pun sudah tidak ingat peristiwa yang baru saja menimpanya, dengan Paman Albelt dan Bibi Nadetta. Serta gigitan Janetta pun tak ingat.

Rasa panas terus menjalar keseluruh tubuhnya dari kepala sampai kaki. Ia berteriak sambil berlari kencang menuju semak-semak.

Aaagghh......

Bruk....

Welhem terjatuh. Ia tersandung sesuatu yang memalang jalannya. Tak lama Welhem pun tak sadarkan diri. 

"Adaw...." teriak seorang lelaki.

"Kenapa?" bertanya seperti suara seorang wanita.

Mereka pun menoleh sesosok tubuh lelaki sedang pingsan tak sadarkan diri akibat tersandung palang di jalan. Yang ternyata palang itu adalah sepasang pemuda dan pemudi dalam keadaan bugil tak berpakaian.

"Ah..." Jos...aku takut." kata seorang wanita sambil merangkul tubuh lelakinya.

"Tenang Mel!" jawab sengit lelaki itu. Mereka segera memakai kembali pakaiannya untuk menutupi tubuh mereka. Ternyata mereka sedang asik bercinta di balik semak-semak. Sepasang itu bernama Josep dan Amelia. Dua dari lima mahasiswa yang sedang menjelajah Hutan Hitam biasa di sebut BLACK FOREST.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar