Sabtu, 02 April 2016

Pendekar Kipas Sakti#5


Wulansari berdesah kedua kalinya ketika Santar Ulung mencumbunya. Bukit cinta terasa mencekam malam itu. Sesosok bayangan putih berkelebat cepat laksana kilat tau-tau sudah berada di depan mulut goa, dimana Santar Ulung yang berjuluk pendekar Halilintar itu bersama Wulansari berada di dalamnya. Dengan tatapan tajam kedalam goa bayangan putih itu yang ternyata sesosok manusia mengenakan pakaian serba putih. Semua paras wajahnya juga putih, janggut putih, alis mata putih dan rona wajahnya menguarkan sinar keputihan, sehingga malam yang gelap tampak jelas dengan kehadirananya.


"Santar Ulung! Keluar kau!" bentaknya dengan nada tinggi. Yang dipanggil tentu terperanjat kaget. Suaranya menggema sampai kedalam goa yang hanya diterangi beberapa lampu obor. Begitupun Wulansari, ia bergegas memakai kembali baju yang ia tanggalkan.

"Akang, siapa?" berkata Wulansari penuh ketakutan. Ia segera memeluk tubuh Santar Alung yang masih bertelanjang dada.

"Tenang sayang," jawab Santar Ulung, "Aku akan keluar melihatnya.

"Hati-hati Akang!"

Santar Alung beranjak dan segera keluar menuju suara orang yang memanggilnya dari luar goa.  Terperangahlah Santar Ulung ketika melihat orang itu yang serba putih dan menguarkan sinar terang dari tubuhnya.

"Pendekar Belut Putih!" guman Santar Ulung. "Hai Bapak tua serba putih, ada keperluan apa menyambangiku?!" seru Santar Ulung.

"Ha... Ha... Ha... Hai anak muda, sudah lama aku mengawasimu di dalam sana. Dan ini adalah bukit sudah lama aku mendudukinya. Dari awal aku sudah tahu kedatanganmu bersama wanita yang kau culik." ujar Pendekar tua berjuluk Pendekar belut putih.

Perlu diketahui, dalam cerita yang lalu, pendekar Belut Putih tewas dengan leher kuntung di tebas oleh Arya Welang dengan kipasnya. Tak lama kemudian, Arya Welang ketika itu kembali karena mendapatkan tugas dari bundanya untuk menangkap pendekar wanita berhati iblis oleh bundanya. Baru beberapa langkah, disusul oleh Renggono sebagai panglima kerajaan dan prajuritnya. Namun ketika keadaan sudah mulai sepi, sosok wanita menghampiri jenazah Pendekar Belut Putih yang sudah terpisah kepala dan badannya. 

Wanita itu adalah Sutini alias Wanita berhati iblis. Dengan kesaktian yang ia bisa, Sutini kembali menyatukan kepala Pendekar belut putih dengan badannya. Maka huduplah kembali Pendekar yang berjuluk belut putih itu. Sutini segera pergi meinggalkan setelah pendekar belut putih itu sadarkan diri.

Pendekar belut putih pun terheran-heran kenapa ia bisa kembali hidup dalam keadaan tubuhnya menyatu kembali. Ketika ia bangkit dari rebahannya, ia teringat akan lelaki yang dicari-cari oleh pihak kerajaan karena menculik anak Bupati Ceringin yaitu Wulansari. Lantas itulah ia kembali mengintai seorang pemuda yang berada di dalam goa bersama wanita yang ia sembunyikan. 

"Anak muda!" kata lelaki serba putih itu, alias pendekar belut putih. "Sudah lama aku memperhatikanmu. Aku yakin, kamu pun mempunyai ilmu kanuragan yang mumpuni. Maka dari itu, aku ingin mencoba ketangkasanmu dalam memainkan jurus yang kamu punya."

Santar Ulung berdehem "Mmm..." Maaf Pak tua, aku bukanlah sehebat yang kamu kira. Aku belum pernah terjun kedalam pertempuran selama ini. Dan aku juga tak mau berurusan dengan orang sepertimu." ujar Santar Ulung dan berjalan kemuka mendekati pendekar Belut Putih. 

"Kalau begitu, aku ingin mengajarkan satu jurus padamu." Tiba-tiba manusia serba putih berkata seperti itu. "Aku ingin mengangkatmu menjadi muridku." 

"Ehm ..." Santar Ulung berdehem. Lalu berkata, "Aku ucapkan terima kasih padamu hai manusia putih, tapi aku tidak akan lama berada di sini. Masih ada urusan dengan wanita di dalam sana. Aku harus mengantarkannya pulang kembali kerumah kedua orang tuanya. 

"Ha ... ha ... ha ..." Pendekar Belut putih tertawa, "anak muda bodoh, nyari mampus kamu. Belum lama pasukan kerajaan telah mencarimu bersama seorang pemuda yang mempunyai kipas sakti. Penculikan pejabat kerajaan adalah sangat berat hukumnya. Kamu akan ditangkap dan sudah pasti akan dihukum mati. Apakah masih berani pulang?" 

Santar Ulung kernyitkan dahi. Ia memandangi tubuh manusia yang serba putih itu. Perkataannya ada benarnya juga, jika ia pulang dan menyerahkan Wulansari, tentu saja akan menjadi bumerang untuk dirinya. Berarti ia menyerahkan diri. "Ah, perduli setan, aku akan mengantarkan Wulansari pulang!" Pikir Santar Alung, ia sudah merasa iba melihat Wulansari yang merengek untuk pulang.

Namun Santar Ulung kembali berpikir. Jika ia kembali, pasti akan menjadi bulan-bulanan orang-orang yang telah mencarinya. Dahinya mengkernyit, tangannya dirangkapkan, seraya bulak-balik berjalan seperti berpikir keras. Akhirnya Santar Ulung pun berucap, "Baiklah, aku mahu jadi muridmu untuk sementara waktu, benar katamu, pasti aku adalah buronan nemer wahid."

Pendekar Belut Putih tersenyum mendengarnya, "He ... he ... he ... Akhirnya aku mempunyai murid juga yang akan meneruskan ilmuku." ujar Pendekar Belut Putih bergumam.

***

Sementara itu petang mulai menghilang berganti malam di suatu kampung yang penuh dengan pedepokan silat dimana para warganya tidak satupun yang tidak bisa bermain silat maupun kedigjayaan. Seorang pemuda dengan santainya memperhatikan setiap gerakan yang di ajarkan orang tua kepada murid-muridnya. Orang tua itu berpakaian serba hitam, jurusnya sangat mumpuni gerakannya sangat cekat walaupun usia sudah uzur, terbukti dia membuat beberapa muridnya terpelanting kebelakang ketika murid-muridnya menyerang secara bersama-sama. Jatuh bergedebugan.

Pemuda yang menyaksikan itu adalah Arya Welang. Ia meleletkan lidah ketika salah satu muridnya menguarkan ilmu kanuragan semacam Rawa Rontek, ilmu tidak olah-olah hebatnya, bisa menyatukan kembali tubuh yang sudah kuntung. Dari kejauhan guru itu berteriak lantang kepada Arya Welang, "Hai pemuda, ikut kami untuk bersenang-senang!" (Maksudnya melakukan adu kesaktian) Arya Welang hanya menyeringai. Seorang guru itu menghampiri Arya Welang, "Hai kisanak, sepertinya kamu sedang dalam perjalanan!" kata seorang guru itu, "bagaimana jika mampir dulu kerumahku, aku akan sediakan makanan dan minuman enak!" ujarnya sambil sunggingkan senyum. Tampak kumis dengan bulu lebat itu terlihat angker, namun hati tidak bisa dibohongi. Walaupun orang itu terlihat seram, namun wajahnya penuh kesejukan dipandang jika lontarkan senyum.

"Kenalkan namaku Jumpalit!" Seorang guru itu mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil mengenalkan diri yang ternyaya bernama Jumpalit. "Di dunia persilatan, aku dijuluki Bajing Bodas (Bajing Putih)." Arya Welang menyambut tangannya, "Aku Arya, tepatnya Arya Welang."

"Nama yang bagus!" kata Jumpalit. "Ya sudah, mari kisanak, kita ke rumahku. Nanti aku kenalkan dengan istri dan anakku!" Jumpalit menepuk lengan atas Arya Welang, lalu melangkah diikuti Arya Welang dari belakang.

"Kebetulan aku memang sudah lapar." gumam Arya Welang pelan. Beberapa langkah saja rumah lelaki bernama Jumpalit itu terlihat. Rumah itu terbuat dari kayu-kayu pipih yang dijadikan seperti tembok. Gentingnya dari daun kelapa dan ijuk. Di sisi rumah tumbuh pohon petay cina yang sangat rindang dan pohon seri yang sudah berbuah merah. 

Tampak seorang wanita muda belia sedang menyapu di halaman depan rumah itu. Setelah mendekat, wanita muda itu tersenyum pada Jumpalit. "Abah sudah pulang!" sapanya memanggi Abah yang berarti Bapak. 

"Ibumu ada?" tanya Jumpalit.

"Ada Abah, di dalam!" jawab wanita muda itu yang ternyata putri dari Jumpalit. Wanita muda itu sempat menoleh kearah Arya Welang, namun tak lama menundukkan wajah karena malu, terbukti rona wajah yang memerah.

"Silahkan masuk anak muda!" berkata Jumpalit kepada Arya Welang.

"Ah, terima kasih!" menjawab Arya Welang.

"Bu ...!" teriak lantang Jumpalit. "Ya Akang ...!" menyahut seorang wanita dari dalam bilik. Arya Welang duduk mendeprok di latar rumah yang memang seperti panggung tepatnya rumah panggung. "Sediakan jamuan buat tamu kita Nyi!" kembali Jumpalit berkata.

Wanita itu yang tidak lain adalah istri dari Jumpalit lontarkan senyum ketika melihat seorang pemuda duduk bersila di teras rumah panggung itu. Lalu ia kembali kedalam untuk menyiediakan hidangan. Jumpalit lalu duduk pula di hadapan. Seraya membuka pembicaraan.

"Kelihatannya kisanak suka mengembara?" kata Jumpalit bertanya.

"Ya benar," jawab Arya Welang. "Aku baru saja turun dari gunung merapi, untuk mencari pengalaman di dunia persilatan." Arya Welang meneguk minuman yang dsediakan.

Jumpalit menyinyir. Di dalam hatinya melihat Arya Welang sudah memastikan anak muda ini mempunyai ilmu yang sangat tinggi, selain tampan. Terbesit di benak Jumpalit untuk menjodohan dengan anaknya bernama Asturi. Bukan hanya itu, tapi juga untuk meneruskan perguruan pencak silat yang ia dirikan selama sepuluh tahun itu.

"Oh yah, alangkah baiknya Kisanak bermalam di sini." berkata Jumpalit. "Dan tampaknya malam akan tiba, tentu akan risih jika berjalan di malam hari." Jumpalit meraih cawan berisi minuman hangat lalu diminumnya.

"Emm ...." Arya Welang mendehem, ia berpikir ada benarnya juga untuk menginap di rumah ketua perguruan silat ini. Walaupun dalam dunia kependekaran tidak ada istilah kemalaman, semua hari sama saja tidak malam tidak siang. Bahkan seorang pendekar, tidur di atas dahan pun jadi. Tidak ada takut di dalam kegelapan. Namun kali ini apa salahnya ia bermalam sejenak untuk melepas lelah di rumah Jumpalit.

Lalu Asturi datang dengan senyuman manisnya sebagai gadis remaja menawarkan makan kepada ayahnya Jumpalit. "Abah, makanan sudah siap!"

"Baiklah pendekar, kita makan dulu kedalam." ujar Jumpalit menawarkan agar Arya Welang segera masuk kedalam ruang khusus jamuan makan. "Oh iya Nyi, sekalian bersihkan kamar untuk tidur pendekar ini!" Jumpalit berkata kepada Asturi. Lantas Asturi bergegas kedalam kembali.

Oranamen tampak sangat unik di ruangan itu. Terpampang lambang perguruan yang di ketuai oleh Jumpalit sendiri yaitu perguruan Tapak Gagak Hitam, yang artinya jejak seekor burung gagak dengan firasatnya dan pembawa kabar bencana bagi siapa yang mendengar suaranya. Filosofinya adalah, perguruan kedigjayaan yang akan menjadi tanda buruk bagi siapa saja yang berdsengketa padanya.

Di sudut ruangan itu sebilah pedang juga tertempel di dinding yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Arya Welang melirik pedang berbentuk unik itu, yaitu dengan gagang pedang berbentuk kepala burung gagak, dan berwarna emas itu.

"Silahkan dimakan pendekar!" ujar Jumpalit, membuat buyar lamunan Arya Welang karena terkesima dengan pedang itu.

"Oh ... baiklah, aku makan yah, kebetulan aku lapar!" menjawab Arya Welang untuk menutupi keterkejutannya. Lalu lauk berupa lalap-lalapan dan ikan yang mengandung protein itu sangat disuka Arya Welang. Semua itu makanan alami yang tentu sangat baik untuk kesehatan. 

Dengan lahapnya Arya Welang menikmati. Begitupun Jumpalit sangat suka dengan makanan buatan istrinya itu. Namun yang membuat Jumpalit bahagia adalah, kehadiran Arya Welang di rumahnya, tapi bukan itu saja, ia merasa yakin jika Pemuda di depannya itu adalah Jodoh Asturi, putri tunggalnya. Karena Jumpalit tak mungkin menjodohkan putrinya itu kepada pemuda setempat atau muridnya.

Dari balik 'bilik' dinding yang terbuat anyaman bambu itu, sepasang mata dara sedang mengintip. Sepasang mata seorang gadis yang tidak lain ada Asturi. Ia diam-diam mengamati ketampanan Arya Welang. Hidup di dalam kengkangan karena adat setempat, membuat ia jarang sekali memandang wajah seorang pemuda lekat-lekat. Rupanya batin sang Ayah dan anak putrinya itu mempunyai keinginan yang sama yaitu memikat hati Arya Welang.

"Eeeghhh ...." Arya Welang berdehak karena kekenyangan. Ia segera minum untuk menghilangkan cekukan. Jumpalit jadi tertahan menertawakan Arya Welang. Rupanya ia sangat lapar sekali sehingga makannya sangat cepat sehingga angin yang berada di perutnya keluar dari mulut. Begitupun dengan Asturi yang sedang mengamati dari lobang dinding anyaman bambu itu. Ia tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya.

Sang Ibu melihat gadis remajanya sudah mulai genit hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

"Kenapa kamu senyam-senyum sendiri Nyi?" tanya sang Ibu.

"Lucu bu, hi ... hi ... hi ..." jawab Asturi tertawa kecil.

"Apanya yang lucu?!" tanya Sang Ibu kembali.

"Anak laki itu Bu, anak laki itu, hi ... hi ... hi ..." Asturi benar-benar merasa terhibur di hari itu dengan kedatangan seorang pemuda tampan. "Coba ibu lihat. Dia makan sampai keselek hi ... hi ... hi ...."

"Wah ... kamu sudah mulai genit Nak!" ujar sang Ibu.

Dikata begitu Asturi menjadi malu. Wajahnya lantas memerah. Lalu berlari kecil masuk kedalam kamar sambil terus tertawa kecil.

Sementara itu Arya Welang dan Jumpalit sedang becakap-cakap. Tiba-tiba datang seseorang dengan tubuh belumur darah datang menghadap Jumpalit dengan tersengal-sengal menahan rasa sakit, "Guru, ada perusuh," lapor orang itu dengan terbata-bata. Jumpalit segera bangkit lalu memeluk orang itu.

"Siapa yang membuat keonaran di kampung kita?" bertanya Jumpalit dengan rahang tampak naik turun petanda naik darah. "Katakan siapa yang melakukan ini?!"

"Dia, dia, dia seorang wanita guru!" jawab orang itu melapor.

"Emm ..." Jumpalit berdehem. Tak lama orang pemberi kabar itu pun merenggang nyawa dengan mulut memuntahkan darah segar. 

Jumpalit menoleh kearah Arya Welang. 

Arya Welang mengangguk lalu berkata, "Mari kita lihat!" Arya Welang segera melompat disusul Jumpalit. Dengan langkah cepat mereka sampai di tempat keramaian orang yang sedang berkerumun melihat sesuatu. "Ada korban lagi!" batin Jumpalit. Ternyata benar, terlihat sosok tubub dengan tubuh bermandikan darah. Tak berbentuk lagi dengan luka perut terbeset lebar sehingga usus keluar menjela-jela. Bukan hanya itu, mata orang itu tidak ada. Juga leher yang hampir putus.

Jumpalit menyaksikan itu, dengan mata membelalak tajam seakan-akan bola mata mau keluar dari rongganya. Ia menggeram, ragangnya naik turun, wajahnya merah membakar. Sontak ia berteriak memanggil muridnya untuk mengejar Wanita itu. 

Selusin murid segera berlari cepat untuk mengejar wanita yang sudah membuat keonaran. Arya Welang tidak tinggal diam ia segera melompat untuk melakukan pengejaran bersama selusin murid Jumpalit. 

Sebagian lagi untuk mengurus jenazah yang sudah tergolek penuh luka mengerikan. Jumpalit menghela napas untuk mepersiapkan tenaga dalamnya. Tidak tinggal diam, Jumpalit ikut dalam pengejaran itu pula. Dengan ilmu meringankan tubuh, Jumpalit melompat cepat menyusul Arya Welang dan selusin anak muridnya yang mengejar lebih dulu.

Di perbatasan desa yang hanya di batasi tanggul pengairan. Seorang wanita dengan buruk rupa sedang memakan seauatu. Darah berlumur di rongga mulutnya, bukan karena luka, tapi karena ia sedang memakan sesuatu. Sangat lahapnya wanita itu memakan seperti penis. Yah penis lelaki.

"Wanita iblis! Jangan lari kamu!" sentak salah satu orang pengejar. Wanita buruk rupa itu menoleh kearahnya dengan wajah dan mata menyorot tajam. Lalu ia menyentak dengan membuka mulutnya lebar-lebar sehingga tampak giginya yang sudah merah karena daging yang disantapnya masih menyumpal di mulut.

Melihat itu, orang pengejar sontak berhenti seketika karena terkejut melihat wajah yang sangat seram dan bringas. Ia memalangkan kedua tangannya dengan maksud agar rekan yang lainnya untuk berhenti dan tidak mendekat.

"Awas hati-hati dia bukan manusia." barkata orang itu sambil menahan tubuh temannya yang lain. "Sebaiknya kita tunggu guru!"

Tak lama Arya Welang tiba. Sontak pula ia terkejut dan merasa jijik melihat wanita itu. Tiba-tiba Jumpalit berdiri di sampingnya. "Oweek..." Jumpalit memegang perutnya. Rupanya ia ingin muntah melihat kelakuan wanita buruk rupa itu sedang menyantap penis. Jumpalit teringat korban yang menjadi korbannya. Rupanya wanita itu, bukan hanya merobek isi perut pemuda itu tapi juga mencopot penisnya, untuk di jadikan santapan.

"Wanita gila!" rutuk Jumpalit.

Tiba-tiba wanita itu menggeram sambil menatap Arya Welang. Kini Arya Welang ingat jika wanita itu adalah Sutini wanita yang berjuluk 'Wanita berhati iblis'. Namun Arya Welang terperangah mengingat kembali, "Bukannya wanita itu sudah tewas dengan gurunya sendiri," membatin Arya Welang. "Memang aneh dunia persilatan ini!"

Lalu Arya Welang berbisik kepada Jumpalit. "Aku pernah bertarung padanya. Sutini namanya. Wanita itu sudah kerasukan iblis. Kita harus hati-hati."

Jumpalit mengangguk. Bersiap memberikan perintah kepada selusin muridnya untuk menyergap dan menangkapnya. Mendengar seruan itu dari sang guru, sontak pula para murid Jumpalit siaga penuh dengan senjatanya masing-masing. Seseorang datang kemuka dan berkata keras, "Sebaiknya aku saja yang menangkap wanita ini guru. Biarkan yang lain untuk menyaksikan dulu."

"Memangnya kamu mampu, hai Suramin?!" bertanya Jumpalit.

"Mohon doanya guru!" menjawab lelaki itu yang bernama Suramin. Setelah meminta izin kepada sang guru Suramin melangkah perlahan penuh keyakinan. Sedangkan wanita buruk rupa pemakan penis lelaki itu masih asik menyantap sisa penis yang hanya tersisa biji zakarnya, itu pun tinggal satu. Mendengar langkah menuju kepadanya, dengan tiba-tiba wanita buruk rupa itu yang tidak lain adalah Sutini yang berjuluk Wanita Berhati Iblis itu, menoleh cepat kearah Suramin dengan melototkan mata seperti orang takut jika makanannya di ambil.

Sutini atau Wanita berhati Iblis itu, sebelumnya sangat cantik dan bersih. Tapi Sutini yang dilihat sekarang oleh Arya Welang seperti orang gila. Badannya kumal dan kotor. Rambutnya semerawut dan kusut. Gigi-giginya banyak yang sudah hitam. Kulitnya pun tampak bersisik. Tentu membuat Arya Welang bertanya sendiri di dalam hatinya. "Ah-bukannya wanita itu sudah mati di tangan gurunya sendiri. Uh-dasar memang aneh dunia persilatan."

"Hai! Wanita gila!" bentak Suramin sambil merentangkan tangannya untuk menyergap wanta itu. Sontak pula wanita itu menoleh kepada Suramin dengan mata menyorot dan wajah merah padam.

"Huuuaaah ...." Suramin segera melompat dan menjambak rambut wanita itu yang awut-awutan. Lalu ditarik kebelakang membuat wanita itu menjengkang. Tapi juga di barengi cakaran wanita itu tepat mengenai pangkal paha Suramin, 'Sreet....' "Agghhh.... " Teriak Suramin merasakan perih dan panas di pahanya. "Aw ..." Suramin melepaskan jambakannya lalu melompat-lompat sambil menahan luka besetan cakaran wanita itu. "Sempruul kowe ...." rutuknya kesal.

Aneh! Tiba-tiba luka besetan bekas cakaran wanita iblis itu cepat sekali membiru di paha Suramin. Panasnya semakin membakar kulitnya sehingga tampak hitam memerah semakin melebar. Suramin kesakitan, "Agghh ... panas guru, panaaas.... Ahh .... Pahaku panas guru!!!" pekik Suramin minta pertolongan kepada sang guru. 

Jumpalit segera menarik tubuh Suramin menjauh dari Wanita iblis itu agar tidak menyerang kembali. Di usapnya luka Suramin. Menguarnya sinar biru dari luka itu menyerep masuk ketelapak tangan Jumpalit. Seketika itu juga luka yang mulai kecoklatan membusuk berangsur merah kembali lalu mengering. Rupanya Suramin terkena racun yang dikuarkan dari kuku wanita iblis itu.

Sementara salah satu murid Jumpalit maju ke depan menggantikan Suramin untuk menangkap wanita iblis itu, namun ditahan oleh Arya Welang. "Biar aku saja yang menjinakkan wanita ini!" kata Arya Welang sengit. Lelaki itu melirik kearah gurunya. Sang guru mengangguk pertanda diizinkan.

Maka Arya Welang berhadapan dengan wanita itu. Dengan mata mencalak penuh murka dan gigi terlihat tajam-tajam lalu wanita itu menggaruk-garuk tanah seperti sedang mengambil tindakan untuk menyerang Arya Welang.

Benar saja wanita itu melompat ke muka dengan cekat Arya Welang lantas menguarkan kipasnya. Dilebarkan lalu di kibaskan ke wanita itu. Sontak wanita itu berteriak mundur tidak jadi menyerang karena hawa panas menguar dari kibasan kipas Arya Welang. Sinar kuning menderu. Wanita itu rambutnya berkibar-kibar akibat kencangnya angin yang dikuarkan oleh kipas Arya Welang. Tapi yang membuat wanita itu tiba-tiba berteriak, seluruh tubuhnya terasa terbakar dengan panas yang sangat amat.

"Aaagrrrrhhh ....."

Teriakan wanita seperti orang gila itu sangat santar terdengar sehingga memekakan telinga. Semua orang yang menyaksikan menutup liang telinga. Begitupun Jumpalit ia menutup telinga rapat-rapat. Sebenarnya, nyaringnya suara wanita iblis itu bukan karena tidak terisi dengan tenaga dalam. Tapi teriakan yang sudah dialiri tenaga dalam. Bahkan jika orang awam tampa mempunyai kanuragan yang mumpuni, maka akan pecah gendang telinganya.

Satu dari murid Jumpalit menggelepar sambil menutup telingannya dan berteriak keras. Ia kesakitan sampai giginya mengancing dan badannya gemetar lalu keluar darah dari lobang hidung, disusul bola matanya melotot lebar juga keluar darah dari retina matanya. Tak lama ia pun kelojotan ditanah seperti ayam di sembelih dan akhirnya nyawanya lepas.

Yang tak sanggup mendengar teriakan wanita iblis itu, berlari menjauh. Jumpalit sendiri beringsut kebelakang sambil menutup telingannya. Arya Welang terus mengipaskan kipas itu. Kini warna kekuningan berubah abu-abu sedikit hitam. Arya Welang maju kedepan wanita iblis itu. Lalu ...

Craas....

Sisi kipasnya ditebaskan ke batang wanita iblis itu. Claak .... Kepala wanita itu mencelat pisah dari badannya yang setengah gosong pekat terbakar. Darah pun menyembur dari batang leher yang kuntung itu. Maka tak lama wanita iblis itu pun tewas.

Arya Welang kembali kembali melipat kipas kembangnya. "Ah ... syukurlah!" desis Arya Welang. Anak buah Jumpalit yang sempat kocar-kacir kembali mendekat. 

"Hebat anak muda," kata Jumpalit berdiri di samping Arya Welang. "Sungguh hebat kipas sakti itu."

Arya Welang sunggingkan senyum. "Baik lah. Sebaiknya kita kembali." ujar Arya Welang, seraya menyelipkan kembali kipas itu ke pinggang. Dengan langkah sedang, Arya Welang merasa senang berada di kampung itu. Lebih-lebih ia mendapatkan pengalaman dalam dunia persilatan atas matinya Wanita berhati Iblis itu yang sempat hidup kembali.

Di kejauhan sang istri Jumplit bernama Nyi Erot dan anak gadisnya Asturi merasa sumringah raut wajahnya ketika melihat Jumpalit dan Arya Welang kembali dengan selamat.

"Syukur Abahmu kembali Nak!" ucap Nyi Erot kepada Asturi. "Oh yah, sepertinya mereka butuh untuk membersihkan badan. Sebaiknya siapkan air untuk mereka mandi!"

"Baik Bu!" sahut Asturi segera kedalam kembali untuk memenuhi air di kamar mandi.

"Abah, sepertinya pemuda ini harus membersihkan tubuh dahulu, agar terlihat segar." kata Nyi erot kepada Jumpalit.

Jumpalit menoleh ke arah Arya Welang dan berkata, "Kisanak, sebaiknya ... kisanak mandi dulu. Nanti setelah selesai mandi, kita makan bersama dengan anak dan istri saya!" Arya Welang hanya mengangguk. Badannya memang terasa kotor dan bau keringat. Ia pun lesuh karena merasa melosoh hatinya ketika bertarung tadi melihat tanggal kepala wanita Iblis di tangannya.

"Em ... sejuknya terasa!" gumam Arya Welang ketika membasuh tubuhnya dengan batok kelapa yang diberi gagang kayu. "Tapi, duh pakai baju itu lagi. Uh!" Arya Welang bingung dengan pakaian setelah mandi. Tidak ada salinan. "Mana mungkin dia meminjam baju Ki Jumpalit!"

"Tenang anak muda, Ibu punya baju yang bagus dan masih baru!" Suara itu terdengar dari balik bilik ruang mandi. Tentu membuat Arya Welang kaget dan malu seperti sedang diintip oleh seorang wanita. Dan memang suara itu adalah suara Nyi Erot istri Jumpalit.

"Aku sudah sediakan untuk kamu. Baju ini milik suamiku sewaktu muda dulu. Tidak dipakai olehnya." Nyi Erot berujar.

"Ah, Nyi Erot ngintip yah!" pekik Arya Welang, ia bergegas menutup kemaluannya dengan telapak tangan. 

"Hihihi ... " Nyi Erot tertawa kecil, "masa ibu sudah setua ini masih suka ngintip sih hihihi ..." Tiba-tiba pakaian yang terlihat baru di cantolkan di dinding setengah yang terbuat dari anyaman bambu itu. "Ini bajunya, kalau sudah pakai. Tidak usah sungkan, masih bagus kok!" 

Arya Welang lantas mengenakan pakaian itu. Warna putih bersih dan celana juga berwarna putih. Dengan ikat pinggang berwarna biru. Lalu Arya Welang keluar dari kamar mandi. Nyi Erot sunggingkan tersenyum ketika Arya Welang berada di depannya.

"Wah ... tampan sekali kamu!" ucap Nyi Erot.

Arya Welang sambut senyum dengan wajah memerah malu. Tapi yang membuat Arya Welang bingung ketika mandi, kenapa Nyi Erot mendengar perkataannya. Padahal suaranya hanya berdesis pelan nyaris tak terdengar oleh Arya Welang sendiri. Ilmu sangat tinggi untuk pendengaran yang di miliki Nyi Erot tidak dianggap enteng. 

Jumpalit, Nyi Erot, Asturi dan Arya Welang duduk bersila saling berhadapan di depan makanan. Mereka sedang menikmati makan malam. Lalap lenca terong dan tidak kalah pentingnya adalah jengkol. Rupanya Jumpalit sangat suka sekali dengan jengkol. Arya Welang baru pertama kali makan bersama serta menikmati makana begitu kesan sederhana namun serba ada. 

Jumpalit adalah sesepuh kampung situ yang sangat dihormati dan disegani. Oleh karenanya, makanan tak pernah kekurangan. Banyak warga yang mengenal Jumpalit yang menyumbangkan sebagian hasil tanamnya diberikan kepada Jumpalit sebagai sedekah.

Bahagianya Arya Welang menikmati suasana itu. Semenjak kecil ia tidak merasakan kehangatan bersama keluarga, terutama seorang Ayah. Sampai sekarang Arya Welang tidak tahu dan tidak akan perrnah tahu ia terlahir dari benih siapa! Karena Arya Welang tahu ia hanya memiliki seorang ibu yaitu Ning Warsih.

Hanya saja yang membuat Arya Welang malu dalam celakan orang-orang yang mengatakan Ibunya seorang Pedekar Wanita berotak Mesum. Banyak cerita ia terlahir dari banyak lelaki yang pernah meniduri Ibunya.

"Nak Arya ..." Nyi Erot membangunkan lamunan Arya Welang.

"Ya Nyi!" sontak Arya Welang menjawab dengan nanar.

"Apa yang kamu lamunin Nak?" Nyi Erot bertanya. "Cerita saja sama kami, siapa tahu kami sekeluarga bisa membantu apa yang ada di pikiranmu, Nak!"

Jumpalit mendengar sang istri berkata begitu menimpali, "Benar, anggap saja kami keluargamu sendiri. Bahkan kami akan menjadikan Nak Arya sebagai bagian keluarga kami"

Arya Welang terhenyak mendengar itu. Keluarga apa yang dimaksud Jumpalit. Karena Arya Welang sempat melihat ketika Jumpalit berkata begitu, ia melirik kearah putrinya, Asturi.

Tapi Arya Welang mengatakan di dalam hati, "Asturi, memang wanita yang cantik dan lugu." Terbukti wajahnya merah merona ketika Arya Welang menatapnya. Gadis mangkat gede itu belum pernah tersentuh hatinya dengan cinta. Walaupun Arya Welang tak perduli dengan cinta. Namun ketika memandang wajah Asturi ada getaran hebat di aliran darahnya.

"Ah ... " Arya Welang memalingkan wajahnya ketika ia larut dalam lamunan keindahan wajah Asturi. Begitu pun dengan Asturi, ia mencoba membuang rasa malunya ketika Arya Welang menatapnya.

Mungkin ini pertama kali Arya Welang merasakan getaran cinta di hatinya. Suka dengan lawan jenis, jenis yang sama dengan bundanya. Hanya saja ia menjadi syndrom jika selalu mengingat kelakuan sang Bunda yang mengumbar syahwatnya.

Bahkan bisa menyebabkan impoten pasif jika mempunyai trauma di masa lalu. Seperti Arya Welang ini, yang menjadi hinaan orang tentang Bundanya yang gemar melakukan hubungan badan dengan banyak lelaki.

Sementara itu, Jumpalit dan Nyi Erot melihat wajah Arya Welang dan Asturi selalu mencuri pandang hanya mesem-mesem saja. Kini perjodohan tidak akan susah jika sudah sama-sama suka. Dilihat mereka sangat serasi, Arya Welang pendekar tampan dan Asturi gadis pingit yang cantik. Jarang sekali di dunia persilatan, pendekar suka sama gadis pingit. Paling umum, pendekar berpasangan dengan pendekar pula.

Setelah selesai menikmati hidangan malam. Mereka beranjak keluar hanya sekedar bercengkrama. Tak lama malam pun  larut.

"Nak Arya, sepertinya malam semakin gelap. Dan juga Nak Welang terlihat lelah, bagaimana jika kita beranjak tidur." yang berkata Nyi Erot.

"Benar kata Nyai!" sahut Jumpalit menimpali. "Bagaimana kalau Kisanak tidur, biar Aku dan Nyai menyusul."

Mata Arya Welang terlihat sayu petanda sudah kantuk menyerang. "Baiklah, saya lelapkan dulu sejenak. Saya jarang tidur pulas, tapi malam ini seperti ada yang mengusap mataku. Ah, mungkin kekenyangan!" ujar Arya Welang.

"Ya sudah, kamar sudah dirapikan oleh Asturi." kata Nyi Erot. "Mari ibu hantarkan!" Nyi Erot bangkit dari duduknya. Melihat itu, Arya Welang bangkit pula untuk melangkah tidur menuju kamar di sebelah kanan ditengah antara kamar Sepasang manusia paruh baya itu dan kamar Asturi.

Tampak kamar yang bersih dengan kelambu menutupi tempat tidur. Dirasa sangat nyaman oleh Arya Welang. Baru pertama kali ia tidur di rumah orang dan di dalam kamar beralaskan tempat tidur dengan kelambu berwarna biru langit. Karena selama ia mengembar, tidur dimana saja jadi seperti di pohon dan gubuk sawah.

Setelah itu, Arya Welang merebahkan tubuhnya. Kelambu ditutup. Ia mencoba memejakan mata. Tapi baru saja mata dipejamkan, terdengar suara wanita cekikikan dari balim dinding anyaman bambu. Suara itu berasal dari kamar Asturi. Rupanya ia sedang mengintip ketika Arya Welang beranjak tidur dengan hanya bertelanjang dada. Asturi mengintip di lobang-lobang kecil dari dinding anyaman bambu itu. 

"Hai Asturi, kenapa kamu mengintip aku?" Arya Welang brtanya pelan. Sedangkan yang ditanya malah tertawa cekikikan genit. 

"Ya sudah ... Selamat tidur yah ....xixixixi...." Astruri menjawab centil. Ia pun merangkak ke tempat tidur lalu menutupi tubuhnya dengan selimut kain.



6 komentar: