Minggu, 01 Mei 2016

Dektetif Jhon 009 eps:Mutilasi

Lelaki bertubuh sedang tidak besar juga tidak kurus sedang melayani pembeli kuliner khas masakan padang. Agus nama lelaki itu. Dibalik ketampanan dalam mengobral pesona, terutama bagi kaum wanita di Dunia Maya yang akan menjadi korban lelaki seperti Agus.

Karakter yang romantis dan gemar mengobral janji-janji manis dan rayuan yang membuat korban wanitanya terbuai dan menjanjikan copdar (copy darat) yang berujung pada hubungan seks sesasat.

Ini terjadi pada Nuri, wanita yang beranak dua ini mendapatkan kenalan di Dunia Maya bersama Agus. Hidup menjanda membuat dirinya kesepian sehingga hanya Dunia Maya lah yang bisa menghiburnya sehari-hari. Dunia tak selebar daun kelor itu benar adanya. Terbukti Nuri tampa keluar rumah pun bisa berhubungan dengan lelaki yang memikat hatinya lewat inbok yang durjana. 


Mereka saling memikat, merayu bahkan berbuat hubungan sekz jarak jauh yang biasa disebut insex dan ponsex. Bahkan Nuri merelakan tubuhnya yang mulus juga putih itu untuk dipoto fullgar laksana artis majalah dewasa tampa sehelai benang pun menutupi tubuhnya dengan berselvi ria.

Selagkangannya yang sudah menghitam tak perduli dipoto close-up hanya untuk lelaki pujaannya di Dunia Maya bernama Agus. Lewat inbok mereka saling bertukar poto alat kelamin. Sudah puas mereka mencoba berhayal lewat ketikan binal sehingga syahwat membuncah. Tidak puas dengan itu, mereka saling teleponan untuk melakukan imajinasi liar dengan cara bermasturbasi via phon. Berdesah, erangan sampai klimaks hingga mengotori tempat tidur masing-masing.

"Jhon!" panggil suara wanita dari dalam kamar. Suara itu tidak asing bagi Dektetif Jhon. Suara itu adalah suara Royani istri kelima Dektetif Jhon 009 yang berasal dari Indonesia.

Jhon rela mengontrak dengan Royani yang hanya sekamar dan kamar mandi kecil dengan sewa kontrakan 400 ribu rupiah per bulan.

"Apa sayang!" Jhon menjawab panggilan Royani. Tak lama Royani pun keluar dari dalam kamar dengan hanya mengenakan kimono berbahan tipis sehingga tampak tubuhnya yang sempal dan padat terlihat sangat melonjak syahwat.

Seraya sambil memijat keningnya lalu menghampiri Jhon yang sedang duduk santai dihadapan segelas kopi hitam kapal api. Ia duduk di samping Jhon.

"Kenapa belum tidur?" tanya Jhon. "Kamu pusing. Kok kepalanya dipijit-pijit."

Royani masih saja memijat kepalanya sehingga membuat Jhon ibah melihatnya. 

"Sini aku pijitin!" Jhon menawarkan.

Sambil memijat kepala Royani, Jhon bercakap-cakap. "Apa sih, yang membuatmu tidak bisa tidur dan sakit kepala. Emang ada yang dipikirkan gitu?" tanya Jhon, seraya menarik rambut Royani dengan lembut, maksudnya agar rasa pening di kepala hilang.

"Oh, gak Jhon." jawab Royani sergah. 

"Lalu kenapa?" tanya Jhon kembali.

Royani menjawab sambil meringis merasakan kerasnya pijatan Jhon di kepalanya.

"Aku baru saja menyelesaikan novel. Temanya sangat seram Jhon!" Royani berujar.

"Emang temanya apa?" tanya Jhon kembali.

"Coba ini kamu baca Jhon, novel yang aku buat. Masih bersambung siih..." Royani menyerahkan buku kerangka karangan yang akan dibuat. Royani adalah penulis novel aktif, walaupun belum ada penerbit yang melirik naskahnya.

Dengan mimik wajah seru, Jhon mulai membaca cerita itu dari awal. Isi dalam Novel itu begini:

Judul: LELAKI DURJANA

Penulis: Royani
Pov: Satu

"Mas, kapan mau melamar?" tanyaku. Dia melengoskan wajah pura-pura tidak mendengar.
"Mas, tuli ya!" bentakku dengan nada keras. Dia menoleh padaku, lalu menjawab ringan, "Iya nanti."
"Nanti kapan Mas?" cecarku. Terasa sesak dada ini.

Dicecar olehku, ia berdiri sembari memasukan telapakan tangan ke saku.

"Sebenarnya aku ini hanya ingin menikmati tubuhmu saja. Tidak lebih dari itu!" Dia berkata begitu seperti petir menyambar tepat di kepalaku dan membuat seluruh rambut ini berdiri.

"Coba ulangi lagi, Mas?" kataku dengan tegas.

Dia menjawab seolah-olah tak punya dosa, "Semenjak pertemuan pertama, aku sudah bilang, aku ingin copi-darat dengan kamu hanya untuk senang-senang saja. Dan kamu juga menikmati itu."

"Tapi perutku, sudah terisi dengan janinmu, Mas!" Aku menangis sedu sedan. Hatiku tersayat sembilu. Bagaikan pedang membelah dadaku mendengar jawabannya. Aku berlari meninggalkannya. Aku menyesal telah bertemu dengannya di dunia maya.
Kulihat ada kereta melintas, aku berpikir esok aku akan akhiri hidup ini di lintasan kereta itu.

Air mata terasa kering sudah. Dada ini terasa lelah kurasakan. Harus kemana aku mengadu dengan janin yang aku kandung. Dokter menyatakan kehamilanku sudah berjalan dua bulan lebih. Terbayang perbuatanmu, ketika itu sangat manis aku rasakan. Belaianmu membuat kulupa segalanya, hingga aku merasakan buncah bersamamu.

Tapi saat itu ada yang ganjil kurasakan ketika ia memberiku secawan minuman bersoda. Tiba-tiba tengkuk merasa dingin. Darah mengalir deras ketika dia mencumbuku dan mencium penuh kehangatan. "Gila!" Aku lupa diri ketika itu. Buncah, gelora syahwat dan merasa nikmat ketika peristiwa itu terjadi.

Padahal, pertemuanku dengannya hanya sekedar pertemuan sementara sebagai teman di dunia maya. "Tapi .... ah .... Gila ..." Kenapa aku terbuai dengan rayuan setan durjana sehingga aku jatuh dalam pelukannya, penuh dengan nista.

"Mas, Pliease ... Mas, aku minta tanggung jawabmu!" Aku kembali memohon dengan menelponnya. "Hayo dong Mas ... walaupun, perkenalan kita di dunia maya. Tapi kita masih satu kota. Tidak jauh untuk saling bertemu.!" Aku terus merintih.

 "Gugurin saja janin itu!" ucapnya sengit.

"Em ... gitu yah." sambungku merendah. Tampa pamit lagi, aku matikan telepon itu.

Sakit hati ini. Pertama aku mengenalnya di dunia maya mengaku sebagai pengusaha, yang ternyata hanya pemimpin warung nasi padang di Tanggerang. Aku mempercayainya untuk bertemu dengan dia sebagai kelanjutan percintaan di dunia maya. Aku yakin ia lelaki bertangung jawab, terbukti dari janji-janjinya yang akan membawa aku sampai kejenjang pernikahan.

Aku belum puas, jika tidak menemuinya lagi. Ini adalah permohonan yang ketiga kalinya, untuk minta pertanggung jawaban, berarti yang terakhir aku tegaskan dia untuk segera menikahiku demi janin yang ada di dalam rahimku.

Keesokannya aku datangi dia, dimana ia bekerja di warung nasi padang. Tampa sepengetahuannya, aku kejutkan dia dengan melabrak dan caci maki didepan pembeli. Sontak semua mata tertuju padaku.

"Sampai kapan pun, aku akan mengejarmu demi anakmu yang aku kandung!" Aku mengancam dengan keras.

Tiba-tiba ia menarik lenganku. "Oke, aku akan bertangung jawab atas janin yang kau kandung!" Dia berkata begitu sambil mengajakku kebelakang dapur. "Oke sayang. Maafkan aku, bagaimana ini kita bicarakan di kontrakan aku. Sehabis selesai melayani pembeli, aku akan segera menyusul. Sekarang kamu pergi duluan kerumah kontrakanku. Dan tunggu aku disana!" 

Syukur, kini ia telah terbuka hatinya. Aku dibelainya lalu di usapkan air mataku yang hampir mengering. Dengan lembut, bibirku dielus dengan ibu-jari tangannya. "Sudah, sekarang kamu ke kontrakan. Aku akan menyusul nanti."

Anggukkan kepalaku menyetujuinya dan aku pun bergegas ke rumah kontrakan itu.

Ruangan kontrakan yang hanya seukuran berdua tampa sekat pemisah itu, aku tunggu ia di dalam. Suasana memang lagi sepi. Penghuni kontrakan kebanyakan buruh pabrik, sehingga tampa ada yang lihat aku berada di dalam rumah kontrakan itu. Tak lama kemudian dia datang dengan membawa kantong kresek besar dan sebilah gergaji bergerigi tajam.

Ia ketika masuk tersenyum dingin kepadaku. Mataku yang sembab dan hati yang masih amarah berusaha untuk tersenyum simpul.

"Sudah sepi ya Mas?" tanyaku tentang pembeli di warung nasi padang yang ia kelola.

Dia jawab hanya dengan senyum dingin pula. Lalu ia membuka lemari dan mengambil beberapa lembar uang kemudian dimasukan ke saku celananya. 

Tak lama ia menelpon seseorang. "Loe kemari, ada yang mau gue suruh sama loe!" 

"Baik, tapi ini lagi banyak pembeli. Satu jam lagi jam istirahat nanti aku kesana, Bos!"

Ternyata ia menelpon salah satu anak buahnya yang sedang berada di rumah makan itu. 

"Kamu nelpon anak buahmu?" tanyaku. 

"Ya!" jawabnya cepat lalu duduk disampingku. "Aku sudah bilang. Hubungan kita itu tak lebih hanya teman. Sedangkan janin yang ada di perutmu itu adalah hasil perbuatan kamu juga, karena ketika itu kita suka sama suka bukan karena aku cinta kamu? Aku pinta gugurkan saja, beres toh!"

Darahku kembali mendidih setelah mendengar penuturannya berdasarkan suka-sama suka, padahal waktu itu diluar kesadaranku. 

"Jadah, kamu!" bentakku. "Masih saja mengulang-ngulang kata itu. Ingat, aku bisa nuntut kamu jika tidak bertangung jawab. Dan aku akan melaporkan kamu ke istrimu yang di Bogor.

Sontak wajahnya memerah, rupanya ia sangat marah aku menyebut istrinya yang di Bogor. Tiba-tiba tangannya menjabakku. Kepalaku di goyang-goyang  sambil berkata.

"Apa katamu! Wanita binal! Jangan coba-coba menghancurkan rumah-tanggaku!"

Brak...

Kepalaku di benturkan pelan ke tembok. Sempat pusing, tapi aku berusaha meronta sambil membentaknya. "Kamulah yang menghancurkan hidupku. Lelaki tak punya tanggung-jawab. Banci kamu!"

Brak..

Sekali lagi kepalaku dibenturkan tapi kali ini sedikit keras membuat mataku berkunang-kunang.

"Eh, bagaimana janin ini aku yang keluarkan!" Dia mengancam seperti itu. Lalu dengan cepat ia menanggalkan pakaian hingga sampai cawat yang aku kenakan sehingga aku dalam keadaan setengah telanjang tampa bawahan.

Dia memegang perutku lalu ditekan sekuatnya membuatku kesakitan kelojotan. "Aggh....sakit Mas.!" pekikku sambil memegang lengannya.

Bukk..

Tiba-tiba perutku dipukulnya. Mataku sudah gelap karena menahan rasa sakit. Bukan hanya memukul, aku melihatnya berdiri, lalu mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Saat itu juga:

Uggkk..

Ngeeek..

Aku mencelat. Tubuhku terasa ringan.. Yah, aku seperti melayang. Tubuhku laksana kapas. Tapi....

Itu, itu ah .... Aku melihat tubuhku dalam keadaan mengenaskan. Selangkanganku keluar seperti anak bayi, yah itu... itu... itu janinku yang aku kandung. Ia belum berbentuk. 

Aku merabah tubuhku, tidak ada yang sakit. Bahkan hatiku terasa bebas lepas, aku bisa terbang, yah tubuhku melayang...

"Hai ...! teriakku, ketika melihat lelaki itu memotong tubuhku dengan sebilah gergaji yang sangat tajam dan... Tubuhku, oh ... kakiku ... Bukan itu bukan aku. Tapi ... kenapa wanita yang tewas mengenaskan mirip aku???

Bersambung ... "Dendam Ruh Mutilasi"

"Ih, sereeem....!" seru Jhon kernyitkan dahi. "Kamu kok bisa sih, buat novel seseram ini. Tapi kenapa bersambung bikin penasaran deh!" 

"Xixixixi..." Royani sambut tertawa. Tampak wajahnya terlihat segar ketika tulisannya di coment oleh Jhon. "Iya nanti sambungannya. Aku lagi nyari ide dulu, bagaimana menggambarkan tentang ruh yang penasaran, dan susahnya jika pakai POV satu." Royani berujar panjang.

"Jhon, kamu gak dapat tugas?" mendadak Rokayah bertanya seperti itu.

"Kenapa?" jawab Jhon.

"Aku ingin bercinta!" kata Royani.

"Katanya, pusing...," ucap Jhon seraya membelai rambut Royani.

"Jhon, kata peneliti, seks itu bisa menghilangkan pusing, Jhon!" Royani menjawab dengan senyuman khas genitnya.

Jhon diam, dia berpikir hatinya kurang gairah untuk melakukan seks. Entah kenapa, perasaan Jhon tidak enak. Seperti ada firasat akan ada tugas dari Mr. Smith. Tapi membahagiakan istri adalah kewajiban sebagai seorang suami, terutama masalah batin dan seks.

"Ayo dong Jhon..." sekali lagi Royani meminta. Rupanya wanita ini ingin sekali bercinta dengan Jhon.  "Emang kamu lagi gak kepingin?!"

Jhon masih saja diam. 

"Ya udah kalau gak mau!" Royani pencongkan mulut sambil menggerutu ia kembali ke kamar. "Uh, dasar Jhon. Badan doang gede...tapi loyo!"

Mendengar hardik Royani, Jhon hanya cengenges geli. Ia bukannya gak kuat alias loyo tapi lagi gak mood berhubungan badan. Mungkin pengaruh pikiran. Begitupun dengan seks, akan hambar jika bayak pikiran.

Royani kembali keluar. Tapi ia sudah berganti pakaian, dengan menggunakan Daster lebar.

"Kenapa bajunya diganti!"

"Panas Jhon!" jawab Royani cepat. "Kan, Kalau pakai daster adem dan sejuk!" 

Royani melirik kearah jam dinding. Jarum jam itu menunjukan pukul 00.31. Lalu Royani berbisik kepada Jhon, pelan sehingga terdengar suara desisan manja. "Jhon, sudah dini hari. Apakah kamu juga belum mengantuk.

"Perasaanku sedang tidak enak!" jawab Jhon. Ia menyulutkan sebatang rokok, lalu asapnya dihembuskan kelangit-langit ruangan. "Kamu saja tidur duluan!"

"Hemm... ya sudah, aku beranjak tidur dulu yah!" Royani berucap. "Ia bangkit dari duduknya, sambil melangkah ke kamar, Royani berkata, "Jhon, jangan banyak merokok. Tidak baik untuk kesehatan. Lagian mahal, ingat sama kontrakan, belum bayar bulan ini!"

"So tahu kamu!" jawab Jhon sengit. "Iya nanti dibayar, Mr. Smith belum negelunasin gajku bulan ini."

Belum saja Jhon menghabiskan kopinya.. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak lantang memanggilnya

"Jhon... bangun... ada apa itu di depan kamar kamu...," yang berteriak sangat jelas adalah tetangga kontrakan. "Ih... Apa itu?!" kali ini suara Suratmin, suami dari yang berteriak tadi.

Sontak Jhon terperanjat bangun dari duduknya sehingga menumpahkan kopi hitamnya. "Uh...," teriak Jhon sedikit kaget karena celana hitamnya terkena air kopi itu.

Tapi yang tak kalah kejutnya adalah Royani. Ia hampir saja terperosok ke tanah ketika mau merebahkan tubuhnya di kasur, lantas bokongnya tidak sampai ke kasur sehingga ia hampir jatuh dibsisinya tapi segera menopang dengan kedua tangannya. Saat itu juga ia bangun segera menuju keluar kamar untuk menemui Jhon.

"Ada apa Jhon?" tanya Royani setelah berada di belakang Jhon yang sedang melihat kepala manusia kuntung berada di depan pintu kamar kontrakannya

Aaahh...

Royani berteriak keras ketika melihat tepat di hadapannya kepala manusia masih tampak darah segar batang lehernya yang kuntung itu.

Jhon dan Royani terbelalak melihatnya

 "Gila, siapa yang mengirim kepala buntung ini!" pekik Jhon denga wajah nanar. Dengan sigap, Jhon menarik pelatuk pistol lalu melangkah keluar dari rumah kontrakan itu sambil celingak-celinguk melihat siapa yang mengirim kepala buntung itu di depan kamarnya kontrakan yang hanya se-ukurun dua orang itu.

"Hati-hati, Jhon!" ujar Royani dengan hati kebat-kebit. Tak kuat melihat darah yang tercecer di lantai, Royani segera mengikuti keluar dan berkumpul dengan tetangga yang juga menyaksikan kepala kuntung itu.

"Itu kepala cewek apa cowok?" salah satu tetangga bertanya dengan wajah meringis ketakutan. "Kayanya cewek!" sahut orang sebelahnya. "Iya kayanya cewek!" sambung orang ketiga.

"Gila, ini harus dilaporkan ke polisi. Panggil Pak RT!!!" pekik Jhon, sambil menyelipkan kembali pistolnya.

Seorang tetangga lelaki, melihat Jhon mempunyai pistol tentu sangat terkejut lalu menyentak Dektetif Jhon, "Eh, kamu teroris yah, pasti kamu anak bauahnya Santoso!"

Di sentak begitu, Jhon melototkan mata.

"Sembarang loe, gue ini Intelegen Internasional tau.. Emang ada apa tampang teroris?"

Tetangga lelaki itu menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Gak siih ... kaya Mr. Bean ia, hehehe..."

"Oke, sekarang kita laporkan kepejabat setempat," ujar Jhon. 

Jhon berjongkok untuk melihat dekat kepala kuntung berkelamin wanita. "Ckckck... sadis nih orang. Manusia berhati iblis!" gumam Jhon.

Diperhatikannya kuntungan kepala itu lekat-lekat. Jhon terperangah merasa miris melihat nasib kematian yang begini rupa kepala terpisah dari badannya. Tapi Jhon bertanya di dalam hati, "Dimanakah badannya?".

Diambilnya sebatang kayu kecil lalu Jhon menyoloknya untuk mengamati kepala berjenis wanita itu. Ada yang aneh dengan kepala itu, ditekan dengan menggunakan kayu terasa keras. Tidak seperti daging. Ditekan lebih keras lagi oleh Jhon dan ternyata memang keras. Dilihat rongga lehernya, tapi... tidak ada urat leher atau kerongkongan. "Ah semakin penasaran Jhon rasakan. Dibulak-balik kepala itu. Dicolek lagi kerongkongan lehernya ada yang menyembul dari batang lehernya lalu keluar sesuatu seperti busa. Ya, busa.

"Ini bukan kepala sungguhan!" pekik Jhon dengan mata terbelalak. "Ini kepala boneka buat demo di toko pakaian."

"Masa sih!" seru Royani mencoba mendekat. Dilihatnya dengan tajam kepala boneka itu yang ternyata memang benar itu adalah kepala boneka demo pakaian yang biasa di pajang di toko-toko pakaian. "Benar kamu Jhon. Ini kepala boneka!"

"Siapa yang jahil seperti ini. Ini adalab teror!" ujar kepala Rt yang baru saja datang dengan nafas tersengal-sengal. "Ah, apakah kita harus laporkan kepada yang berwajib." kata Pak Rt lagi.

Jhon kernyitkan dahi untuk berpikir sambil mengambil kepala itu. "Lebih baik, jangan dulu Pak Rt!" sahut Jhon. "Biar aku yang selidiki, siapa yang mengirim boneka ini. Apa maksudnya ini semua. Ini bukan candaan. Ini termasuk teror."

"Tapi kenapa di depan kamar kita Jhon!" yang berkata Royani.

"Apa mungkin ini tugas dari Mr. Smith untukku?" batin Jhon. "Apa maksudnya dengan ini semua. Apakah ada hubungannya dengan Novel yang dibuat Royani?!" Jhon hatinya penuh tanda tanya.

"Cerita ini hanyalah fiktif Jhon!" ujar Royani seru. "Walaupun sama, hanya kebetulan belaka!"

Alangkah terkejutnya Jhon mendengar jawaban Royani. Padahal ia hanya bergumam pelan di dalam hati. Tapi Royani menjawab dengan pas apa yang menjadi pertanyaan di dalam hatinya. "Loh, kok kamu bisa tahu apa yang aku katakan?" kata Dektetif Jhon 009 mengkernyitkan dahi.

"Hehehe... lah iya lah, penulis gitu loh. Semua kejadian yang belum maupun yang sudah akan abadi dalam tulisannya." sergah Royani tertawa kecil. "Makanya kamu jangan nyakitin hati penulis jika namamu tidak abadi di dalam karyanya."

"Uh dasar Royani. Bisa aja kamu!" pungkas Jhon sambil mengangkat kepala kuntung itu.

Sementara itu laporan sudah sampai ketangan polisi setempat. Beberapa aparat keamanan dan pejabat Rt dan Rw mendatangi rumah kontrakan yang ditempati Dektetif Jhon dan Royani. Setelah diperiksa kepala kuntung itu memang benar adanya adalah kepala boneka yang dilumuri darah buatan berwarna merah. Namun biar bagaimanapun tetap menjadi tugas kepolisian untuk menyelidiki siapa yang menteror dengan kepala kuntung itu.

Tapi biar bagaimanapun tetap menjadi pertanyaan besar di kepala Jhon, apa maksud orang itu menteror dirinya dengan kepala buntung itu. Apakah ada maksud tersirat dari tugas yang diembannya sebagai Dektetif dengan kode 009.

"Sayang!" ucap Jhon kepada Royani, seraya membelai rambutnya. "Besok aku akan pulang kampung. Aku harap kamu bisa jaga diri dari segala marabahaya yang terjadi. Apalagi kamu seorang penulis Novel tentu akan menjadi inspirasi untuk tulisanmu. Setelah Novel kamu jadi dengan judul "DENDAM RUH MUTILASI" Tolong beritahu bukunya agar aku bisa membaca cerita kamu. Aku pikir, Novel itu akan menjadi Best Seller di toko buku.

Royani hanya mengangguk. Tapi tak lama kemudian, tampak kedua bola matanya berkaca-kaca petanda mau menangis. 

"Kamu lama pulang kampungnya?" tanya Royani dengan berat hati.

Jhon mencium kening Royani lalu menjawab pertanyaannya. "Sepertinya sedikit lama. Tapi jika sebentar atau pun lama aku tetap mengabari kamu. Toh banyak sosial media yang bisa menghubungi kita. Oh yah, tolong sambungannya diteruskan lagi. Aku mau tahu." pinta Jhon menginginkan kelanjutan cerita Novel Hantu Mutilasi yang dikarang Royani.

Lalu Royani berkata, "Ada sih Jhon, sebentar aku ambilkan lembaran ceritanya!" Setelah berujar begitu, Royani segera melangkah ke kedalam kamar untuk mengambil lembaran tulisannya tentang sambungan cerita Novel yang akan dibuatnya.

Tak lama Royani kembali keluar sambil menyerahkan lembaran itu untuk dibaca Jhon yang masih penasaran dengan cerita itu.

"Ini Jhon cerita sambungannya!" kata Royani.

Jhon meraih lembaran lalu ia duduk untuk membaca kelanjutan cerita yang dibuat Royani walau hanya sepenggal.

TERUSAN CERITA ITU:

Udara sangat dingin dihembuskan angin semilir lalu dibarengi dengan rintik hujan kecil membuat malam itu terasa sunyi mencekam. Tak lama kemudian hujan deras pun datang.

"Duhai betapa ringannya tubuhku. Aku bisa terbang dan duduk di dahan yang basah ini. Tapi... tubuhku tidak basah dan kedinginan. Duhai, kiranya aku masih hidup, ternyata aku sudah mati. Hai inikah, aku yang sekarang. Sungguh menakjubkan, hiiiihihihi...." Aku tertawa senang  sekali. "Kini aku bahagia, tak ada beban lagi hiiihihii..."

Rumah kontrakan yang aku tempati banyak manusia berkerumun, entah menyaksikan apa, aku pun tak tahu. Ruang kamar yang aku sewa itu disesaki oleh petugas kepolisian. Mereka sedang mengamati sepotong tubuh wanita yang hanya badan, tampa kaki, tangan dan kepala.

Tubuh siapa itu? Aku tak tahu. Seperti tubuhku, tapi kemana kepalanya. Dan kemana kaki dan tangannya... Itu, itu di bawah selangkangan wanita itu ada daging kecil yang mirip tubuh manusia. Seperti bayi tapi belum berbentuk. Ha itu, selangkangan jasad wanita itu menguarkan darah segar.

Salah seorang polisi memegang kartu tanda pengenal. Tak lama datang seseorang lalu bertanya.

"Siapa namanya korban ini?"

Lelaki yang memegang kartu identitas itu menjawab, "Namanya Naori usia 31 tahun!"

"Baiklah!" kata lelaki yang bertanya. "Sekarang kita cari keterangan saksi mata dan orang terdekat di sini."

Tak lama, kedua lelaki itu keluar lalu masuk beberapa orang dengan membawa kantong mayat dan segera memasukan potongan tubuh itu.

Rupanya orang-orang itu tidak melihatku dan merasakan kehadiranku. Aku mengerti bahwa aku sudah bukan di dunia ini. Entah di mana dan siapa aku. Semua sangat asing aku rasakan. Lantas, siapa yang bernawa Naori itu. Aku ingat itu seperti namaku... Tidak mungkin itu tubuhku. Jika benar, betapa malang nasibku. Tentu akan aku balas perbuatan orang yang tega memotong tubuhku. Egggmmm.....

Kembali aku mengingat-ngingat nama yang disebutkan kedua lelaki itu. Nama itu, benar itu adalah namaku. Persis namaku semasih kuhidup. Emm... Apakah potongan tubuh itu potongan tubuhku. Tapi... dimana kaki, tangan dan kepalaku. Tidak, aku tidak rela sebelum potongan tubuhku yang hilang ditemukan.

Dan janin yang keluar dari selangkangan belum berbentuk itu. Apakah itu janinku. Mungkin, yah... aku ingat saat itu aku sedang hamil. Lalu janin itu disatukan oleh potongan tubuh itu dan dimasukan kedalam kantong mayat.

Aku mengikuti orang yang membawa kantong mayat itu. Sampailah di sebuah mobil ambulan dan dimasukan kantong mayat itu dibelakang mobil ambulan itu. Aku pun segera masuk kedalam mobil itu. Ajaib, tubuhku bisa tembus tampa harus aku buka pintunya. Dan aku duduk di samping kantong mayat itu, tampa diketahui mereka.

Aku tidak betah lama-lama di dalam bersama tubuh yang tidak utuh ini. Aku harus terbang di atas mobil ambulan ini. Hiiiihihii....

Aku pun dengan riangnya melompat keluar lalu terbang di atas mobil mengikuti kemana arah mobil ambulan itu melaju.

Hai ... Itu rumah sakit ... Hore .... Aku senang jasad terpotong ini akhirnya sampai ke rumah sakit. Syukurlah, aku tak tega melihat tubuh yang hampir membau ini. Walaupun bau amis darah segar masih menguar dari potongan tubuh ini.

Hai... mau di apakan tubuh yang mirip aku itu. Ah, ternyata mau dimasukan kedalam lemari es... Tapi sebelumnya tubuh itu diamati oleh beberapa orang yang gak kenal jijik. Yah, mereka seorang Dokter yang membolak-balikan tubuh tampa tangan, kaki dan kepala itu. Aku harus membantu mereka untuk mencari potongan tubuh lainnya.

Aku mendengar percakapan mereka, akan mencari kepala dan tangan dan kaki jasad itu.

Tak lama aku mengikuti beberapa orang untuk mencari sisa potingan tubuh yang hilang. Samar-samar aku mendengar nama Naori... Naori namaku, ah ... apakah itu jasadku.. Tidak, aku tidak rela matiku seperti ini. Aku harus mencari orang yang memotong-motong tubuh itu. Em...hiiihihihi....

Bersambung Hiii ... Hi ... Hi ... Hi...

Setelah membaca potongan novel itu Jhon tertawa terbahak-bahak bukannya ketakutan. 

"Hahaha... kamu ini ada-ada aja bikin aku tambah penasaran. Ya sudah, aku tunggu kelanjutannya." 

Tiba-tiba Royani memeluk Jhon.

"Jhon! Kamu jangan lama-lama tinggalkan aku. Aku tak tahan kedinginan Jhon. Apalagi aku takut jika karangan cerita novelku akan jadi kenyataan. Iiihhh...."

"Tenang sayang!" jawab Jhon sembari mengangkat dagu royani. "Aku usahakan tak akan lama pulang kampung. Aku tak mau, vaginamu jadi melempem karena tidak pernah dijamah....gkgkgk"

Royani memukul dada Jhon dengan lembut dan manja. "Ya sudah, hati-hati yah di jalan." 

Jhon mencium bibir Royani penuh kasih sayang. Sambil merasakan kehangatan, tampa dirasa Royani, air matanya jatuh berderai. "Jangan menangis sayang!" kata Jhon.

Keesokan harinya Jhon berangkat ke kampung halaman di New York City, Amerika Serikat negara yang berjuluk Negeri Paman Sam.

Tamat

Nantikan kisah selanjutnya dengan kasus yang lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar