Senin, 11 Juli 2016

Pendekar Kipas Sakti #6

SATU

Suara binatang malam menambah indah di tengah malam itu. Dari balik bilik kamar yang hanya berdinding anyaman bambu, Arya Welang tak juga memejamkan matanya. Pikiran terpatri pada raut wajah seorang wanita yang hanya bersebelahan kamar itu. Wanita baru mangkat gede anak tunggal dari Ki Jumpalit dan Nyi Errot bernama Asturi.


Begitupun dengan Asturi, bayangan seorang pemuda yang baru dilihatnya sangatlah tampan juga berkeilmuan tinggi. Bayangan itu membuat hatinya berbunga-bunga. Rasanya ingin segera pagi menjemput untuk menatap kembali wajah pemuda itu.

(Kisah Sebelumnya)

Sementara itu, Jumpalit dan Nyi Errot belum juga terpulas. Mereka sedang membicarakan masa depan putri tunggalnya. Jumpalit berkata, "Nyi, sebaiknya kita harus berterus terang untuk menjodohkan pemuda itu dengan anak kita!" 

Nyi Errot menjawab, "Apakah Abah sudah yakin dengan pilihan kita. Bagaimana dengan Jaka Petir dia sangat cinta dengan putri kita, jika kita menjodohkan Asturi dengan Nak Arya Welang, mungkin akan melukai hati Jaka Petir."

Jaka Petir adalah Murid juga ketua perguruan Gagak Hitam. Diakatakan Jaka Petir karena ia mempunyai Pukulan Petir yang menjadi ilmu andalannya. Dia juga tampan karena berkarakter seperti wanita dan paling beruntung karena banyak wanita yang melirik kepadanya. Tapi Jaka Petir hanya bisa mencintai Asturi anak gurunya tersebut. Meskipun ia sendiri belum menyatakan cinta. Tetapi Jumpalit dan Nyi Errot sudah mengetahui gelagat pemuda itu bahwa ia sedang cari perhatian kepada Sutari.

"Sebaiknya kita pura-pura tida tahu saja, Nyi!" berkata Jumpalit.

"Maksud Abah?"

"Sebaiknya besok kita katakan pada Nak Arya, jika memang ia menyukai anak kita, aku akan menentukan pernikahannya, dan mengabarkan pada semua warga kampung kita."

"Jadi maksud Abah, tidak usah memperdulikan perasaan Nak Jaka Petir?"

Jumpalit mengangguk. Lalu berkata kembali, "Aku takut jika Jaka Petir mencintai Asturi dan menjadi menantu kita, ia akan berlaku sombong terhadap murid-muridku yang lainnya."

Nyi Errot terdiam, begitu pun Jumpalit.

"Sudah Nyai, sebaiknya kita pejamkan mata. Aku sudah lelah sekali hari ini!"

Tak lama mereka pun tertidur.

Tak berapa lama , bayangan berupa asap putih merayap dari balik dinding. Gerakannya sangat halus sehingga tidak terdengar oleh Jumpalit dan Nyi Errot yang sudah terlelap tidur. Bayangan itu terus merangsek kedalam ruang di mana Asturi tertidur. 

Bayangan lelembut itu laksana asap menyeruak dari lubang kecil rumah bambu itu. Setelah beyangan asap putih itu masuk ke dalam kamar Asturi, tak lama bayangan itu sangat jelas lambat-laun asap itu berbentuk tubuh manusia, lalu berubah utuh menjadi manusia sosok laki-laki.

Asturi melindur membalikkan tubuhnya. Tersingkap kain penutup sehingga tampak pahanya terlihat mulus. Sosok bayangan putih itu yang sudah berubah menjadi manusia berpakaian hijau mendekati lalu memandang sejenak keindahan tubuh wanita remaja itu.

"Gadis ini harus aku bawa secepatnya untuk kuserahkan Kanjeng Ratu Kidul" Gumam sosok misterius itu. "Sebelum bulan purnama, ritual itu harus dilakukan demi kedigjayaan balung besi yang akan aku miliki ha ... ha ... ha ...."

Sosok misteri itu lantas mulutnya kemak-kemik membaca mantara, lalu telapak tangannya dilebarkan dan ditiup. Tampak seperti angin kecil berwarna putih. Angin itu mengitari tubuh Asturi, semakin rapat asap itu menggulung tubuh Asturi yang kian membungkus tubuhnya. Kemudian sosok misteri itu memeluk tubuh Asturi. Secara bersamaan, gulungan asap putih itu menyatu dengan tubuh sosok misteri itu. Tak lama mereka berubah menjadi asap kecil lalu menyusup kelobang kecil disela-sela dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu.

***

Suara riuh ayam pejantan saling bersahutan pertanda malam berganti pagi. Udara terasa sangat sejuk dan matahari pun bersinar menghangatkan bumi.

"Nyai bangun!" ucap Jumpalit membangunkan sang istri. 

"Iya Abah," jawab Nyi Errot dia pun segera bangun dari peraduan. Begitupun dengan Jumpalit. Sedangkan Arya Welang sudah bangun lebih dulu. Ia sedang mandang sinar surya yang menghangatkan wajahnya di teras panggung rumah Jumpalit.

"Ah, rupanya Nak Arya sudah terbangun lebih dulu!" sapa Jumpalit mendatangi dari belakang. Arya Welang sunggingkan senyum sambil berkata, "Malam itu aku pulas sekali. Tak biasanya aku tertidur seperti itu?!"

"Sama Nak, Abah juga begitu, mungkin karena kita terlalu lelah di siangnya mengejar wanita iblis itu!" berujar Jumpalit, seraya berdiri di sebelah Arya Welang. "Oh yah, lebih baik kita duduk sambil menunggu teh hangat buatan istriku."

Jumpalit lantas duduk bersila diikuti Arya Welang. "Nyi ... Buatkan teh!" pekik Jumpalit. 

Baru saja berkata begitu, Nyi Errot berteriak lantang, "Abah ... Asturi tidak ada di kamarnya."

"Coba lihat di belakang rumah, Nyi!" tukas Jumpalit keras.

Tak lama Nyi Errot berteriak kembali. "Tidak ada, Abah!"

"Kemana itu anak!" Jumpalit segera berdiri untuk melihat. Ternyata benar, Asturi tidak berada di kamarnya. Di cari di belakang rumah, mungkin ia sedang berada di sana, tapi tidak ada juga. "Kemana itu, anak!" seru Jumpalit berkata kepada sang istri. 

Arya Welang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum Arya Welang mendekati Jumpalit, Nyi Errot berteriak keras memanggil Asturi, "Nyi ... dimana kamu?" 

Tak ada jawaban. Jumpalit mencoba menenangkan diri. Ia berpikir tak mungkin ada yang membawa Asturi dengan cara diam-diam. Selama ini tidak terjadi apa-apa. Jangankan manusia untuk berbuat jahat, makhluk ghaib pun takan berani masuk ke rumah Jumpalit. Tapi memang aneh, kenapa dia semalam tidur sangat pulas sekali. Biasanya tidak seperti itu.

Tak lama murid Jumpalit datang. "Ada apa guru?" tanya salah satu murid.

"Kalian melihat Asturi?" 

Kedua murid itu saling berpandangan lalu menggelengkan kepala. "Tidak guru, Asturi jarang sekali keluar rumah. Jika kami melihatnya tentu akan kami tegur," ujar salah satu murid itu.

"Apakah sudah ada yang berani menyusup kerumahku." Jumpalit berkata di dalam hati. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Jaka Petir. Mungkin dia yang menculik Asturi karena cemburu dengan keberadaan Arya Welang.

"Panggil Jaka Petir!" berkata keras Jumpalit kepada kedua muridnya.

Kedua murid itu segera berlari menuju pondok yang ditempati Jaka Petir. Sesampai di depan sang ketua mereka, Jaka Petir rupanya sudah mengetahui akan kedatangan keduanya.

"Salam hormat ketua!" ucap salah satunya. "Guru mencari Asturi, apakah ketua tahu dimana keberadaan Asturi?"

Jaka Petir kernyitkan dahi lalu menggelengkan kepala dan berkata, "Saya tidak melihatnya."

"Sebaiknya ketua menemui guru!" berkata satunya lagi. 

"Sebentar!" sergah Jaka Petir. "Bukannya pemuda yang bernama Arya Welang itu bermalam di rumah guru?!"

"Benar ketua!"

"Emm..." Jaka Petir berdehem. Wajahnya sedikit kecut ketika menyebut nama Arya Welang. "Aku punya firasat dengan pemuda itu." Sehabis berkata begitu, Jaka Petir beranjak dari rumahnya menuju sang guru di susul kedua lelaki tadi.

Pagi itu tadinya cerah berubah awan hitam sedikit berkerumun. Mendung menghiasi langit. Arya Welang duduk bersila sambil menyilangkan tangan di atas dada. Matanya terpejam tetapi pikirannya tertuju pada sang Bunda di gunung merapi. Pembicaraan jarak jauh pun dilakukan:

"Aku memanggilmu, Ibu!" Seruan angin panggilan melalui batin dan telepati sampai ketelinga Ning Warsih yang sedang berhias diri. Suara angin kecil, suara Arya Welang memanggilnya, Ning Warsih pun duduk bersila. Seraya menyatukan kedua telapak tangannya sambil dan memajamkan mata, membuka pendengaran ghaib yang datang dari putranya.

"Ada apa anakku. Kamu memanggil ibu?!"

"Ah tidak apa-apa Ibu. Aku hanya ingin menanyakan keadaan Ibu!" 

"Ibu baik-baik saja disini!"

Arya Welang pun membuka mata kembali. Pembicaraan itu hanya untuk menyapa dari jarak jauh.

Dari kejauhan tampak tiga orang lelaki berjalan tergopoh-gopoh ketiga lelaki itu adalah Jaka Petir dan dua orang murid jumpalit. Sesampai di depan rumah, Jumpali melihat itu langsung menjemputnya seraya berdiri menatap tajam Jaka Petir.

"Ada apa guru memanggil saya!" ucap Jaka Petir bungkukan badan. 

"Asturi menghilang secara tak diketahui. Apakah kamu melihatnya?"

"Tidak guru!" jawab Jaka Petir. "Aku akan mencarinya guru!" Sambil berkata begitu, Jaka Petir melirik kearah Jaka Welang yang berdiri di samping Jumpalit.

Sang guru mengangkat telapak tangannya lalu berkata, "Secepatnya cari Anakku. Siapa yang berani menculik tampa sepengetahuanku, berarti dia telah berusan denganku, meskipun itu muridku!"

"Guru, izinkan aku berbicara dua mata dengan guru." berkata Jaka Petir.

"Emm ... baiklah silahkan masuk." Jumpalit mempersilahkan Jaka Tingkir untuk masuk kedalam. Murid tertinggi itu bergegas mengekorinya dari belakang menuju ruang kamar khusus untuk mengadakan ritual bagi Jumpalit. 

Di ruang itu, Jumpalit dan Jaka Petir duduk berhadapan dengan bersila. Tak lama Jaka Petir membuka pembicaraan.

"Guru, baru kali ini kampung kita, terutama perguruan kita bahkan di rumah guru sendiri, telah terjadi yang mustahil. Namun sebelum kedatangan pemuda itu, kampung kita aman-aman saja. Apakah guru tidak curiga dengan pemuda  itu?"

"Maksud kamu Arya Welang?!"

Jaka Petir anggukan kepala, "Siapa lagi guru. Aku curiga semenjak dia masuk ke kampung kita, tiba-tiba salah satu warga kita tewas dengan seorang wanita seperti orang gila yang mepunyai kesaktian tinggi. Lalu, sekarang Asturi menghilang secara aneh, padahal Pemuda itu, bermalam di rumah guru. Sedangkan guru selalu terjaga tapi kenapa malam itu, guru tak curiga sama sekali."

"Emm..." Jumpalit kernyitkan dahi, sembari mengusap dagunya. "Memang yang kamu katakan benar. Semalam aku tidak biasanya tidur sangat lelap. Tapi bagaimana dengan pemuda itu, apakah ia juga terpulas tidur nya?"

Jumpalit bangkit dari duduknya lalu keluar ruangan. "Nak Arya, kemari!" panggilnya kepada Arya Welang yang masih duduk di teras rumah. Ia segera menghampiri Jumpalit. "Aku bertanya padamu. Apakah semalam tidak ada suara sedikit pun yang kamu dengar?"

"Saya tidak mengerti, kenapa saya tidur sangat pulas sekali." Arya Welang menjawab. Timbul perasaan kurang enak hati kepada Jumpalit dan Nyi Errot atas keberadaannya di rumah itu. "Ini benar-benar aneh, kita semua seperti di sirep sehingga kita tak sedikit pun suara terdengar!"

"Kemana kita harus mencari putriku?" ucap Jumpalit.

"Abah, cepat cari anak kita, hikz" timpal Nyi Errot menangis. "Anak kita mungkin sangat ketakutan."

"Abah akan berusaha, Nyai!" jawab Jumpalit. Lalu kembai kedalam ruangan dimana Jaka Petir berada, lalu menyuruhnya untuk secepatnya dan mengerahkan para murid untuk mencari keberadaan Asturi.

Ketika Jaka Petir mendekat seraya berbisik, "Guru tidak curiga dengan pemuda itu?"

Jumpalit gelengkan kepala, "Biar dia urusanku. Urusanmu adalah mencari kepelosok kampung. Tanyakan pada setiap warga jika ada yang melihat orang yang mencurigakan."

DUA

Pagi itu air laut selatan sangat tenang. Suara burung camar hanya sesekali terdengar. Hempasan gelombang kecil sesekali melabrak sosok lelaki berpakaian serba putih yang sedang membopong tubuh mungil, seorang wanita yang tak sadarkan diri. Wajahnya menatap tajam ujung laut yang masih tampak putih berembun. Singgaluh nama pemuda itu, berteriak lantang;

"Kanjeng Ratu Roro. Aku datang untuk menepati janjiku untuk memberikan sesembahan padamu. Terimalah pemberianku." Setelah berkata begitu. Singgaluh maju selangkah demi selangkah ke arah laut. Semakin jauh semakin menenggelamkan kakinya hingga air laut sepinggang. Ia terus maju sembari membopong wanita yang tak berdaya itu, hingga akhirnya ia dan wanita itu karam kedalam lautan luas dan tak terlihat lagi laksana masuk ke dasar laut selatan.

Lorong yang luas dengan lantai seperti anak tangga menurun kedasar laut menuju istana Nyai Roro Kidul, penguasa pantai laut selatan. 

"Berhenti!!" 

Tiba-tiba terdengar suara menyentak yang keluar dari seorang wanita. Singgalang menoleh kearah suara itu. Tampak beberapa wanita berpakaian kebaya dan bermahkota emas dan perak sebagai tudung kepalanya. Wanita-wanita itu sangat cantik dan anggun. Namun terlihat garang ketika masing-masing mereka memegang tombak sula. Salah satu wanita yang terdepan itu kembali berkata,

"Ada apa keperluan Anda masuk ke istana kami?" bertanya wanita itu yang berada di depan dengan wanita lainnya. "Kami prajurit istana tak mengizinkan tamu lelaki untuk menemui Ratu kami."

"Saya punya perjanjian dengan ratu kalian!" seru Singgaluh menjawab.

"Siapa yang kau bawa itu?" wanita terdepan itu kembali bertanya.

"Ini adalah sesembahan untuk Kanjeng Ratu!"

Salah satu wanita berbisik pada wanita terdepan itu. Rupanya wanita terdepan itu adalah ketua mereka sebagai prajurit istana bawah laut Nyai Roro kidul. "Lebih baik kita lapor ke kanjeng Ratu. Apa benar, dia sudah menerima perjanjian dengan lelaki ini!"

Wanita sebagai ketua itu mengangguk. Lalu berkata kembali kepada Singgalung, "Tunggu sesaat di sana sebelum kami dengar dan memberi izin dari Ratu kami."

Singgalung pun mengangguk. Ia tetap berdiri di anak tangga itu sambil terus membopong tubuh wanita yang tak sadarkan diri itu. Tak lama ketiga wanita prajurit istana laut itu pun keluar. Tirai terbuka dan anak tangga kembali muncul menghubungi pintu istana. Singgalung kembali melangkah setahap-setahap sehingga sampai ke lantai istana Nyi Roro kidul. 

Obor menyalak terang yang di bawa beberapa penjaga pintu istana. Di dalam air api itu sangat terang seakan-akan bukan di dalam lautan.

Penjaga pintu menarik pengait sehingga terbuka pintu itu. Tampak berkerumun dayang-dayang duduk bersimpuh di bawah kursi kebesaran ratu mengitari. Mereka sedang ritual dengan cara bersujud lalu bangun sambil mengangkat kedua tangannya keatas, meskipun sang ratu belum menampakan wujudnya. 

Kursi kebesaran ratu dihiasi dengan permata berlian dan di tengah senderan kursi itu seperti arca kepala ular yang terbuat dari emas. Tongkat pun demekian terlihat seperti tubuh ular dalam keadaan tegak lurus dan bersisik emas dengan mata berlian yang sangat indah. Tongkat itu bersandar di sisi kursi.

Dari pintu sebelah utara keluar beberapa wanita beriringan membawa tampah berisi bunga-bunga. Para wanita itu mengenakan kebaya berwarna hijau. Mereka tampak cantik dan kembar tak ada cacat sediki pun dari mereka. Kulit mereka putih mulus mata bersinar cerah.

Salah satu dari mereka menebar bunga ke kursi kebesaran ratu sehingga memenuhi dan mewangi. "Abadilah wahai ratu!" ucap wanita penabur bunga itu, lalu diikuti wanita penabur bunga yang lainnya. "Abadilah wahai ratu," Kini mereka berucap berbarengan. "Abadilah kecantikan ratu. Panjang umur untuk rartu, penguasa laut selatan."

Singgalung terperangah, terkesima melihat kecantikan para dayang-dayang itu. Dia masih saja berdiri terpaku sambil menopang wanita yang tidak sadarkan diri yang bukan lain adalah Asturi, putri Jumpalit. 

Lalu beberapa wanita yang sedang mengadakan pemujaan dengan cara ritual di depan kursi kebesaran Ratu Nyi Roro kidul itu berhenti, lalu mereka segera berdiri menyisi memanjang kesamping. Sedangkan beberapa wanita yang membawa bunga-bunga itu berdiri di samping dan di belakang kursi laksana pagar untuk keselamatan ratu.

Salah satu wanita dengan mahkota di kepala beda dengan yang lainnya berkata, "Ratu, hadirlah, Ratu telah kedatangan tamu. Sudilah ratu menampakan diri!"

Tak lama asap putih mengepul keatas dari mulut tongkat ular itu. Semakin lama asap itu semakin tebal sehingga berbentuk sosok tubuh wanita. Lalu asap itu timbul warna kehijauan dan jelas sosok tubuh seorang wanita demgan mengenakan kain kebaya dan baju seperti penari sinden berwarna hijau. Sontak seluruh dayang-dayang bersujud ritual sambil terus mengucapkan "Abadilah ratu. Abadilah penjaga laut selatan, abadilah."

Wanita itu berwajah cantik. Para dayangnya cantik, tapi wanita itu lebih cantik. Bermahkota emas dan permata. Rambutnya terurai panjang sampai ke pinggang. Setiap liang tubuhnya dihiasi anting-anting yang gemerlap jika tertimpa sinar. Berlian dan Batu permata memperindah mahkota itu yang melingkar di kepalanya. "Kanjeng Ratu Roro!" gumam Singgalung.

Kini tampaklah Penguasa pantai laut selatan itu. Seraya duduk di kursi kebesarannya. Di iringi para dayang yang mengitari kursi itu. Dua orang mengayun-ngayun kipas besar di kibaskan perlahan dari samping. Sedangkan para dayang lainnya yang berada di hadapan Ratu Roro terus memuja kebesaran dan kecantikannya. Mereka beringsut kesamping duduk berjajar menyamping sang ratu.

Ratu laut selatan yang tidak lain adalah Nyai Roro Kidul itu mengangkat tangan kepada para dayang agar menghentikan sejenak pujiannya. Lantas menatap Singgalung dengan tatapan tajam seraya berkata.

"Lelaki yang berani masuk ke istanaku harus berani pula menanggung resikonya!" Sang Ratu menggenggam tongkat ular itu. "Apa tujuan kamu kemari?" bertanya Nyi Roro kepada Singgalung yang masih menopang tubuh Asturi.

"Aku kemari untuk menempati janjiku untuk membawakan gadis suci sebagai sesembahan untukmu," menjawab Singgalung. Sang Ratu menatap tubuh wanita gadis itu. "Gadis ini adalah sebagai tumbal kesaktian yang akan kau berikan!"

"Taruh wanita itu di hadapanku," berkata Nyi Roro.

Singgalung maju kehadapannya lalu meletakan tubuh Asturi perlahan di lantai. Setelah itu ia kembali mundur ke tempat semula sambil membukukan tubuh dengan takzim. Ratu Roro berdiri dari kursinya lalu berjalan perlahan mendekati tubuh Asturi. Sinar biru mencelat dari bola matanya. Setelah itu, ia merentangkan telapak tangan tepat di atas tubuh Asturi lalu berkata, "Wahai sukma yang suci, bangunlah!" 

Sinar biru keluar dari telapak tangan. Lalu sinar itu menyelimuti tubuh Asturi. Tak lama sinar itu pun lenyap, dibarengi bergeraknya tubuh gadis itu perlahan.

Mata Asturi mengejap lalu menoleh keliling. Setelah sadar dari pitamnya, ia berdesis pelan, "Dimana, aku?'

Sang Ratu menampakan wajah senyum. Asturi terperangah melihat wajah seorang wanita yang sangat cantik dan indah di hiasi dengan mahkota emas dan permata. Wajah yang aneh dan asing menurut Asturi, "Apakah ini sosok dewi!" Asturi berkata di dalam hati. "Di manakah aku?"

"Kamu berada di negerimu. Negeri kaum wanita," ucap Sang Ratu. "Aku adalah penguasa laut selatan. Denganku, kamu akan hidup bahagia bersama kami. Bahagia bersama cinta kita, cinta dari negeri perempuan xixixix..." Sang ratu tertawa kecil.

Lalu sang ratu berkata kembali, "Aku akan menjadikanmu wanita yang paling tercantik di khayangan ini. Akan kujadikan sebagai paku pantai laut selatan. Di pintu gerbang sanalah kamu berkuasa."

Rupanya, Ratu Roro Kidul ingin menjadikan Asturi sebagai penguasa pintu gerbang terletak di tepian pantai selatan. Diluar kesadaran Asturi yang sudah terhipnotis, tak menyadari akan keberadaan dirinya sebenarnya. Setelah itu, Asturi dikenakan pakaian berwarna hijau dengan selendang dan mahkota sebagai penguasa pintu gerbang laut selatan.

Bermahkota dan berselendang kebesaran sebagai warga baru penghuni alam ghaib istana bawah laut, Asturi sudah tidak ingat apa-apa lagi. Semua bagaikan mimpi yang tak tertembus oleh dimensi waktu. Yang ingat hanyalah patuh terhadap perintah Ratunya sebagai makhluk mitologi dunia ghaib.

***

Singgalung bersimpul di hadapan Nyi Roro kidul, sambil berucap, "Berikan aku kekuatanmu, Nyai. Kekuatan yang tidak ada tandingannya. Ilmu balung besi."

"Ha ... ha ... ha ...." Nyi Roro kidul tertawa keras, "Dasar manusia bodoh juga serakah. Ilmu itu akan kuberikan padamu. Tetapi ada satu syarat lagi yang akan kaujalani!"

"Apa itu, Nyai?" sahut singgalung.

Sang Ratu terdiam sejenak. Matanya menatap lekat tubuh Singgalung yang berwajah tampan dan mempesona. Kemudian Sang Ratu pun berkata kembali, "Jika itu maumu dan sanggup menjalankan syarat yang akan ku berikan."

"Apa itu, Nyai?!"

Sang Ratu tidak menjawab, ia beranjak dari kursi kebesarannya menuju ruangan khusus. "Ikut aku hai manusia bodoh!" 

Singgalung mengikuti dari belakang. Para dayang yang menyaksikan tertawa kecil mesem-mesem karena mereka tahu apa yang akan dilakukan ratunya kepada lelaki yang meminta kesaktian kepadanya.

Kamar indah dihiasi bunga-bunga dan berkordeng serba warna hijau itu meyilaukan mata Singgalung. Ruang tidur yang sangat aneh. Ditengah ruangan itu terkesan luas, tampak tempat tidur berkelambu hijau pula dengan motif bunga kamboja. Dan harumnya menyengat rongga hidung.

Sekali jentik kelambu itu terbuka dengan sendirinya. Singgalung terpanah melihat kesaktian sang ratu. Setelah terbuka kelambu itu. Nyi Roro menanggalkan pakaiannya satu-satu. 

Singgalung yang berada di belakangnya melongong bingung ketika melihat bokong Nyi Roro yang putih dan sempal menghiasi matanya. Tak ada kata yang keluar, hanya desisan kagum keindahan tubuh sang Ratu dilihat dari belakang.

"Lepas pakaianmu hai manusia bodoh!" berkata Nyi Roro.

"Buat apa Nyai?" Singgalung menjawab lirih.

"Dengan cara inilah kamu akan mendapatkan kesaktian ilmu Balung Besi!"

Singgalung menuruti apa kata Nyi Roro, meskipun ia sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud sang Ratu penguasa laut selatan itu. Kini Singgalung pun tampa sehelai benang. Sebagai lelaki tentu hasratnya membuncah ketika melihat wanita cantik dan putih bersih itu dalam keadaan tampa pakaian pula.

Zakarnya mengacung panjang. "Nyai, sudah Nyai!" ucap Singgalung.

Nyi Roro membalikan tubuhnya. Jelas pula tubuh sang Ratu terlihat sangat merangsang di rasakan singgalung. Buah dada yang padat, pinggul yang melekuk. Tak kalah indahnya ketika vagina sang ratu itu tampak di hiasi bulu-bulu tipis dan berwarna pirang mengelilingi bibir vaginanya.

"Oh ... Nyai...." desis singgalung sambil menggenggam penisnya yang sudah menegang itu.. Tapi di sadari Singgalung, ia mengocok zakarnya sambil meleletkan lidah memandang keindahan tubuh sang Ratu.

Nyi Roro tersenyum sambil melirik tingkah lelaki yang dihadapannya. Sedikit tertawa kecil sang Ratu ketika melihat lelaki itu mengocok-ngocok zakarnya.

"Sudah, jangan pakai tangan. Langsung aja masukin ke memekku." ucap Nyi Roro sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang bertabur kembang tujuh rupa. "Hayo manusia bodoh, masukan kontolmu ke memekku."

"Ya, Nyai!"

Singgalung melangkah kedepan tepat di hadapan sang Ratu yang sudah bertelentang sambil mengankat kedua kakinya dan melebarkan vaginanya. Hingga tampak kelentit yang indah meranum mencuat keluar serta di iringi lendir pelicin.

Singgalung sempat tertegun sejenak melihat selangkangan sang ratu. Begitu indah putih dan bersih. Ketika di lebarkan selangkangannya tampak warna pink menyilau. Singgalung menelan ludah beberapa kali. Ia segera merangkak naik ke atas tubuh sang ratu. Bersiap menghunus zakar yang sudah mengencang sedari tadi. Tapi ketika kepala zakar itu menempel di bibir vagina sang ratu. Terasa panas dirasakan singgalung seperti uap air mendidih menjalar keseluruh batang zakarnya.

Tampa di sadari singgalung, hawa panas itu berwarna hijau memilin dan membungkus zakarnya. Sehingga hawa panas itu menyelimuti, semakin lama semakin menaik ke atas perut.

Sang Ratu mencekal zakar Singgalung lalu mengarahkan ke liang vaginanya. Namun sebelumnya di karamkan, sang ratu lebih dulu memainkan zakar Singgalung dengan cara dipoles-poles lembuat naik-turun di belahan vaginanya.

"Hujamkan!" bisik Sang Ratu lirih.

Singgalung pun mulai menurunkan bokongnya lalu dihunuskan zakar tepat di liang vagina sang ratu, yang bukan lain Nyi Roro kidul sang penguasa pantai laut selatan. Semakin membuncah, semakin cepat gerakannya. Naik-turun bokong Singgalung dengan gerakan cekat laksana burung perkutut mematuk pakan.

Nyi Ratu merasakan penis Singgalung seperti menyumpal padat liang vaginannya. Rongganya terbuka menutup dan mengatup dengan suara yang unik, sleb bleb sleb bleb sleb bleb.... Plok plok plok...

Tak mau kalah Nyi Ratu menaikan bokongnya agar zakar Singgalung karam dan kandas sampai ke hulu. Eg eg eg eg eg...ah....

Sleb

Bleb

Sleb

Bleb

Sleb

Bleb

Plak

Plak

Plak

"Oh ..."

"Eessst....ah"

Singgalung merasakan kenikmatan yang sangat amat ketika karam dalam buaian lendir sang ratu. Begitupun sang Ratu, sudah banyak penis lelaki yang mengocok selangkangannya, masih saja terasa enak meskipun beda-beda bentuk dan besarnya. Tapi ketika selangkangannya terhunus zakar lelaki, membuat ia semakin nambah, nambah dan lagi.

Nikmat yang luar biasa membuat sang ratu berdesisi hebat, "Oh ... enaak ... ssst ... ahh .... enaak ... "

Sama halnya dengan singgalung. Ia merasakan nikmat dan enak yang sangag amat. Zakar lnya terhimpit kencang dan gereget dirasakan menggesek kulit zakarnya, ia memekik hebat, "Oh ... Nyai ... oH ... Ya ... Iya ... Enak ... Oh ...."

"Cepat ... Cepet ... lagi ...ah...." pinta Nyi Ratu berbisik.

"Iya ... Uh ... Uh ... Uh ..." 

Tap

Tap

Tap

Wajah Singgalung mendongak ke langit-langit ruangan seraya merem-melek menahan ada yang mau keluar dari zakarnya. Seperti mau di semburkan ke dalam liang buncah Nyi Ratu.. Ia pun memekik, "Nyai Aku ... Aku ... Aku mau keluarrr.... Nyaiii.... Ahhhh...."

"Keluarin ah .... Keluarin...." sambut Nyi Ratu Roro dengan mata disayukan.

"Mau dikuarin di mana, Nyai?" tanya Singgalung.

"Kuarkan di luar ..." jawab Sang Ratu berdesis. "Semprotkan ke mulutku ..."

Rupanya Nyoli Roro ingin Singgalung membuang spermanya di rongga mulutnya. Ia ingin menelan spera lelaki yang ia tidurinya sebagai ritual dan syarat mentransfer ilmu yang dipinta setiap lelaki yang memohon ilmu kanuragan kepadanya.

"Siap, Nyai," kata Singgalung bersiap menarik zakarnya sebelum menyembuar di rongga selangkangan Nyi Roro kidul itu. "Aku tarik, Nyai ...happ ..."

Slep ... Plukk ...

Dirasa sudah berada di kepala zakar, Singgalung segera berdiri dengan lututnya dan cepat merangkak ke atas tubuh sang Ratu sambil mengarahkan penis itu tepat di mulut sang Ratu.

Sang ratu bersiap dengan melebarkan rongga mulutnya menganga.

"Hap ..."

Singgalung mengocok zakar meneruskan agar ia segera menyemprotkan dengan cekat tepat di mulut Sang Ratu, "Siap, Nyai ...." 

Crot

Crot

Crot

Tepat, sperma Singgalung menembak kencang di tengah rongga mulut sang Ratu. Ssst.... Sang Ratu berdesis. Tapi desisnya kali ini seperti desis ular. Ia pun menjulurkan lidah yang sudah di penuhi cairan putih Singgalung.

Singgalung terkejut!!!

Lidah sang Ratu seperti lidah seekor ular. Menjukur panjang dan bercagak laksana lidah ular cobra. Menjilat-jilat kepala penis Singgalung.

Saat itu juga!!!!

Plok...

Sang Ratu berubah menjadi ular besar seperti ular Phyton dengan mahkota di kepalanya. Tubuh Ratu Nyi Roro kidul yang sudah berubah menjadi ular itu, membuat Singgalung terperanjat kaget bukan kepalang. Segera ia menarik zakarnyanya dengan cepat. Tapi sayang, ular itu terus mengenyot melumat zakar Singgalung dengan keras. Tak bisa di lepaskan.

Aaghhr....

Rasa panas yang sangat amat dirasakan Singgalung keseluruh tubuhnya. Singgalung menggelepar kesakitan. Giginya mengancing kuat sampai terdengar suara bletekan. Kemudian Nyi ratu kidul alias ular itu melepaskan gigitannya.

Plok...

"Aw!!" pekik Singggalung. Tubuhnya kini kaku tak bisa bergerak. Hanya matanya yang berputar melirik sekeliling. Mulut pun tak bisa berucap. Seperti patung bernyawa.

Ular itu berubah wujud kembali menjadi sosok Sang Ratu. Nyi Roro kidul berbisik pelan di telinga Singgalung. Kesaktian balung besi telah menyerap ke tubuhmu. Dan kamu akan normal kembali ketika sudah di darat."

Sehabis berkata demikian. Nyi Roro kidul meniup tubuh Singgalung yang kaku membesi. Sinar kuning emas menggulung perlahan menyelimuti tubuh Singgalung. Lalu, tubuh itu tiba-tiba sudah berada di tepi pantai.

TIGA

Ketar-ketir dirasakan Jumpalit dan Nyi Errot. Hari sudah hampir senja, Asturi belum juga ditemukan. Arya Welang dan Jaka Petir yang sempat curiga kepada Arya Welang, mencoba untuk meredam rasa curiganya. Mereka mencari berkeliling kampung, apakah ada yang melihat orang-orang yang mencurigakan.

"Ini jelas aneh. Pasti ada orang yang berkeilmuan tinggi, sehingga tak satu jejak pun terlihat." yang berkata Jaka Petir.

Tiba-tiba Arya Welang teringat seorang kakek sakti berjuluk si Mata Satu serba Tahu. Mungkin bisa dipinta pertolongan kepadanya. Tapi letak tempat tinggalnya sangat jauh di kaki gunung parakan salak.

Sang Bunda pernah bercerita padanya. Jika Ia pernah diramal oleh kakek sakti itu, suatu saat Ning Warsih akan mempunyai anak yang akan mengusai dunia persilatan bukan karena kesaktiannya, tapi karena akhlaknya. Dan anak itu telah lahir dan sudah menjadi pendekar, anak itu adalah Arya Welang sendiri. Meskipun Arya Welang sendiri belum merasa menjadi pendekar yang paling di segani.

"Bagaimana jika kita kesana!" Jaka Petir kembali berkata.

"Em ... mungkin jarak tempuh memakan waktu dua hari dengan menggunakan kuda yang paling tangguh," jawab Arya Welang.

"Kebetulan aku tahu orang yang mempunyai kuda tangguh. Mungkin kita bisa sewa darinya." 

"Baiklah, kita coba kesana!" ucap Arya Welang. "Lebih cepat lebih baik."

"Tunggu!!"

Jumpalit mensergah. "Jangan dulu kesana, aku punya firasat buruk akan desa kita, sebaiknya urungkan niat kalian. Untuk sementara, biarkan anakku Asturi lenyap. Perasaanku dia baik-baik saja. Hanya saja yang aku khawatirkan akan ada bencana dan keonaran di kampung kita."

"Apa yang guru rasakan?" bertanya Jaka Petir.

"Aku mencium bau darah di kampung kita, yang berarti akan ada pertumpahan darah. Entah apa aku punya perasaan seperti itu."

Jaka Petir dan Arya Welang berdiam. "Lalu, apa yang akan kita lakukan, guru?" 

"Sebaiknya kalian di sini saja, menanti apa yang akan terjadi. Coba lihat?!" Jumpali menjawab sambil menunjuk ke langit, yang mana burung gagak sedang terbang mengitari mereka berada. Pertanda akan ada marabahaya. Mitos itu sudah di percayai oleh masyarakat setempat.

"Sebaiknya, kumpulkan semua murid-muridku untuk siap siaga meenjemput apa pun yang terjadi!" seru Jumpalit. Setelah berkata begitu ia meninggalkan Jaka Tingkir dan Arya Welang yang masih termangu.

"Sebenarnya aku curiga padamu, hai anak muda!" tiba-tiba Jaka Tingkir berkata demikian. Selama ini, Desa ini aman-aman saja. Tapi kehadiranmu di rumah guru,..."

He ... he ... he...." Arya Welang tertawa menyeringai memungkas pembicaraan Jaka Tingkir. "Aku mengerti, aku sendiri bingung, kenapa ketika aku menyambang ke Desa ini, peristiwa ini terjadi." Arya Welang kernyitkan dahi sambil mengusap dagunya. 

Jaka Petir membelakangi Arya Welang lalu berkata kembali, "Satu hari kedatanganmu ke Desa ini, sehari itu warga kami mati dengan seorang wanita berhati iblis yang melahap penisnya. Lalu, kamu bermalam di rumah guru tiba-tiba Asturi menghilang. Jadi ... aku menaruh curiga padamu. Jangan-jangan kamu dan bersama temanmu, akan membuat keonaran di Desa kami!"

"Ah, itu hanyalah kebetulan kisanak!" jawab Arya Welang cepat. Untuk menghilangkan kecurigaanmu padaku, biarkan aku saja yang akan mencari Asturi sampai kutemukan." Setelah berkata begitu, Arya Welang menepuk dada Jaka Petir lalu bergegas pergi.

***

"Ha ... ha ... ha ...." Singgalung tertawa gelak-gelak ketika ia merasakan ada kekuatan di dalam tubuhnya. "Kini aku menjadi sakti, takan ada yang bisa mengalahkanku. Balung Besi, ha ... ha ... ha ...."

Segala macam senjata tajam dan segala kedigjayaan takan sanggup melepaskan nyawa Singgalung. Balung Besi yang di milikiya membuat ia kebal kecuali jantungnya tertusuk senjata terbuat dari emas.

Tampak bola matanya mencelat sinar. Tatapannya dingin penuh aura haus darah. Singgalung mengenakan pakaian berwarna hijau dengan ikat kepala pun hijau. Tubuhnya yang kekar bertambah kekar. Urat-uratnya memilin kuat merambat di tubuhnya. Untuk mengetes kesaktian ilmu Balung Besi, di depannya sebongkah batu berukuran bola, di injaknya.

Bummm....

Batu itu pecah berantakan. Bukan hanya sebongkah batu, pasir pantai amblas meninggalkan lobang yang sangat dalam sehingga air laut menggenangnya. Balung Besi yang di miliki Singgalung membuat ia merasa tak terkalahkan oleh pendekar dari segala arah delapan mata angin. Dengan congkaknya, ia berteriak keras menghadapi laut, "Hai Singgalung. Kini dunia berada di genggamanmu. Kesaktian yang kau miliki akan membuat para pendekar dari golongan putih maupun hitam akan gentar menghadapimu. Kini dunia persilatan akan tunduk padamu. Ha ... ha ... ha ....."

Beru saja berteriak seperti itu, tampak dari tengah laut keluar sinar hijau berarak-arakan menujunya. Seperti pasukan berkuda dengan menggunakan delman kebesaran dengan mahkota di gerobaknya. Tampak pula wanita cantik, muda dan putih mengenakan kebaya hijau sedang duduk di gerobak kuda itu. Serta merta beberapa dayang-dayang sebagai penjaganya mengekor dari belakang dengan tunggangan kudanya.

"Gadis itu!" gumam Singgalung pelan.

Rupanya yang datang muncul dari permukaan laut dengan menggunakan kuda bergerobak mahkota dan permata itu juga menguarkan sinar hijau yang gemerlap adalah Asturi, gadis yang ia bawa sebagai sesembahan kesaktiannya kepada Nyi Roro kidul.

Mata wanita itu menatap Singgalung dengan bersinar-sinar.

"Jangan sombong, hai manusia bodoh!" Wanita berkebaya hijau itu yang tidak lain adalah Asturi sebagai penjaga pintu laut selatan.

Seraya turun dari gerobak kudanya. 

Dan ia berkata kepada Singgalung, "Kesaktianmu tidak akan abadi. Di dunia ini tidak ada yang kekal. Begitupun ilmu Balung Besi yang kau miliki, tidak kekal dan ada batasnya juga ada kelemahan dan pantangannya!"

Singgalung tercenung sambil rangkapkan kedua tangan.

"Sebutkan apa itu semua jika ada batasnya, kelemahan dan pantangannya?" bertanya Singgalung dingin.

"Batasnya adalah, kesaktianmu harus bertumbal wanita perawan untuk di sembahkan ke ratu kami setiap bulan purnama tiba. Kelemahanmu ada di mata, jika bola matamu rusak, maka kekuatanmu akan hilang. Sedangkan pantang berhubungan badan di malam hari." ujar Asturi. "Aku datang menemuimu, hanya untuk menyampaikan itu dari Ratu kami."

Asturi alias penjaga pantai selatan itu naik kembali ke gerobak kudanya. Di susul oleh para dayang. Lalu kuda itu pun berbalik arah menuju laut kembali hingga hilang ke dasar lautan.

EMPAT

Malam itu, Arya Welang berdiri di teras rumah memandang jauh kedepan yang gampak gelap. Hanya sinar kelap-kelip sinar lampu obor rumah penduduk. Ia merasau risau atas raibnya Asturi. Juga ada rasa kurang enak hati kepada Jumpalit dan Nyi Errot akan kehdirannya. Meskipun, kedua manusia manula itu sebagai sesepuh juga sebagai ketua Perguruan Silat Gagak Hitam tidak merasakan kehadiran Arya Welang sebagai malapetaka di kampung itu.

Baru saja berpikir demikian, tampak dari kejauhan sinar kuning emas keluar dari kegelapan. Sinar itu berawal kecil tak lama sinarnya semakin membesar lalu melesat kearah utara. 

Arya Welang melihat itu sempat tercenung, lalu dengan cekat ia melompat mengejar ainar kuning keemasan itu. Dengan ilmu meringankan tubuh, Arya Welang berhasil mendekati sinar itu. Rupanya sinar itu menuju ke goa batu karang yang menjuruk ke laut. Sinar itu amblas setelah masuk ke dalam goa itu. Arya Welang berhenti sejenak mengamati.

Tak lama mucul sosok lelaki bertubuh besar keluar dari mulut goa. Sosok itu bertelanjag dada, hanya cawat terbuat dari dedaunan yang ia kenakan. Tampak pula giginya bercaling dan matanya yang menyorot berwarna merah, serta berbulu lebat di dadanya.

Ggrrrr... Sosok itu menggereng seperti murka. Arya Welang beringsut sekira dua langkah. Ada udara dingin membuat bulu tengkuknya berdiri ketika melihat makhluk laksana raksasa. Dengan tatapan tajam, sosok besar itu terlihat marah padam dengan kehadiran Arya Welang di hadapannya.

Ggrrr....

Kembali Makhluk besar itu menggereng, suara mengema memecah malam. Arya Welang terkesiap, ia segera mengambil kuda-kuda untuk antisipasi kejahatan makhluk raksasa itu.

"Makhluk bertubuh besar, siapa kamu?" Arya Welang mencoba bertanya. Ia baru pertama kali melihat sosok manusia yang besar juga tinggi. 

"Hua ... ha ... ha ..." Tiba-tiba Makhluk itu tertawa. Tampak rongga mulut terbuka lebar terlihat gigi caling sangat nyata. "Aku adalah Asura! Ha ... ha ... ha ...." 

Makhluk besar itu ternyata bernama Asura.

"Manusia apa kamu ini?" berkata Arya Welang. "Apakah, kamu dari golongan siluman?!"

Makhluk raksasa bernama Asura itu menghentak tanah dengan kakinya, membuat tanah itu amblas. Lalu tak lama kemudian, dari kepalanya keluar seperti tanduk. 

"Siluman apa ini!" batin Arya Welang. "Aku harus hati-hati menghadapinya!"

Mahkluk raksasa itu melangkah kearah Arya Welang sambil memukul dengan tangannya yang besar. Bermaksud ingin mencengkram tubuh Arya Welang. Tetapi dengan cekat pula Arya Welang menghindar dengan mundur kebelakang lalu menyentak bumi dan melompat sambil layangkan tendangan. 

Bukk.

Tepat mengenai dada mahkluk raksasa itu, tapi rakssa itu tidak beranjak sedikit pun, malah Arya Welang yang terjatuh kebelakang hampir tersuruk ke tanah membokong. 

"Gusti Agung!" gumam Arya Welang menyebut Tuhan. Tak lama ia berdiri kembali sambil merentangkan kedua tangan untuk mengolah tenaga dalam. Arya Welang maju selangkah sambil memukul dengan pukulan Pemecah Bukit. Sinar biru keluar dari telapak tangannya.

Buum...

Plak ... Grrr ... Makhluk raksasa itu menggeram. Kali ini ia sempat beringsut mundur terkena pukulan Pemecah Bukit yang dilontarkan Arya Welang. 

Tak ambil waktu menunggu, kembali Arya Welang hujamkan tendangan yang di aliri tenaga dalam. "Heeaa...." 

Bukk... Kali ini tampak meringis makhluk Raksasa itu kerena dua kali kena pukulan yang di hempaskan Arya Welang tepat di dadanya.

Makhluk besar itu mengangkat kedua tangannya sambil merapatkan jari-jarinya. Matanya mencelat sinar warna merah murka. Giginya mengancing sehingga terdengar suara bletekan. Kemudian sinar hitam pekat keluar dari sela-sela jarinya. Semakin lama sinar hitam itu menggumpal menjadi asap laksana awan mendung

Ketika asap hitam pekat itu menggumpal membumbung tinggi, Asura meniup asap itu kearah Arya Welang.

Terkejut Arya Welang melihat asap hitam itu berhembus ke arahnya. Dengan cepat ia menguarkan kipas lipat sebagai senjata andalan yang dimilikinya. Saat itu juga, mantra ilmu Topan Menggusur Gunung yang keluar dari kibasan kipas sakti itu membentur asap hitam yang dihembuskan oleh Asura.

Buum...

Sinar putih laksana kilat mencelat menyapu apa saja yang di dekatnya. Pohon kelapa itu hangus terbakar ketika terkena lidah kilat itu. 'Clat, clat' 

Kipas yang dikibaskan Arya Welang dengan mantra Topan Menggusur Gunung, membuat asap pekat bergumpal berbalik arah ke Makhluk besar tinggi itu. Bruuurr....

Sontak membuat Asura menjerit keras ketika asap hitam pekat sebagai senjatanya ternyata berbalik arah ke dirinya sendiri. Gumpalan asap itu menyelimuti tubuhnya sehingga membakar tubuh Asura yang memang sudah hitam.

Aagggrrr...

Jeritan makhluk itu memecah keheningan malam. Memantul jelas sampai terdengar ke Desa. Jumpalit mendengar teriakan kesakitan itu, bulu tengkuknya berdiri. Suara jeritan yang aneh jarang terdengar. Saat itu pula Jumpalit keluar dari rumahnya.

"Suara apa itu?" gumamnya pelan.

Tak lama warga desa pun berhambur keluar dengan mimik wajah kejut. Begitupun dengan Jaka Petir, ia segera berlari menuju rumah Jumpalit, ia takut terjadi sesuatu yang menakutkan desa itu. "Ada apa guru?" tanyanya ketika sampai ke rumah Jumpalit.

"Suaranya dari arah bukit itu?" sambil menunjuk ke arah tanah gundukan tinggi. "Sebaiknya kita lihat kesana!" Jumpalit segera melompat lalu berlari menuju bukit itu, disusul oleh Jaka Petir dan beberapa murid.

Sementara itu, Asura menggelepar sakit yang amat sangat terasa terbakar, tiba-tiba tubuhnya yang besar berangsur-angsur mengecil. Lalu berbentuk seperti manusia kate. Tapi tak lama kemudian berbentuk seperti seekor babi hutan.

Bergerak sebentar, kemudian makhluk itu seperti babi hutan menjelma wujud aslinya yaitu manusia yang sedang meringkuk tak bernyawa

"Nak Arya!" panggil Jumpalit dari kejauhan. 

Bersambung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar