Selasa, 19 Mei 2015

Pendekar Kipas Sakti Berotak Mesum #2

Pagi itu dirasa indah, dengan kicauan burung dan gemuruh suara air melabrak setiap benda yang menghalanginya. Lelaki dengan badan kecil tegap di perkirakan usia remaja sedang termenung. Tatapannya kosong dengan mata berkaca-kaca. Pakaian berwarna hitam dengan ikat pinggang kain selendang. Lelaki ini memakai ikat kepala berwarna merah hati dengan terselip di bajunya sebuah kipas pemberian bundanya. Kipas itu di jadikan sebagai senjata yang hebat, namun senjata berupa kipas itu tidak seberapa hebat di bandingkan yang di miliki bundanya sendiri. Kipas yang akan di wariskan oleh lelaki remaja itu yang bukan lain bernama Arya Welang.

baca: Cerita Sebelumnya

Bundanya bernama Ning Warsih seorang pendekar yang sangat di segani di setiap penjuru dunia persilatan golongan hitam. Baca Sebelumnya. Bukan hanya di takuti dan di segani karena kehebatan jurus silatnya serta ilmu tenaga dalam tapi berupa ilmu pemikat sukma, ilmu yang di wariskan dari Eyang Soka seorang pendekar berotak mesum di zamannya. Kini ilmu itu di turunkan oleh Ning Warsih dan kelak akan di turunkan untuk putranya Arya Welang.



Tapi Arya Welang merasa prustasi apa yang di lihat di depan matanya sendiri perbuatan yang sangat menyesakan dadanya. Perbuatan bunda di lihat sedang melakukan hubungan badan tampa ikatan yang sakral, sebagaimana adat istiadat adanya. Apalagi perbuatan itu di lakukan oleh lelaki yang baru saja di bunuhnya pendekar itu adalah pendekar berjuluk Kelabang Kaki Seribu yang jeleknya bukan kepalang. Tubuhnya seperti badut, dengan bokong hitam pekat seperti pantat panci, serta mempunyai rupa dan kelakuan yang buruk. Walaupun pendekar itu telah tewas di tangannya, rasa dendam masih berkecamuk, dendam itu di pelampiaskan kepada bundanya.

"Arya! Anakku!"

Terdengar suara wanita yang bukan lain bundanya Ning Warsih. Arya Welang tidak menoleh panggilan itu, wajahnya terus kedepan tajam menatap kosong. Dia tidak perduli panggilan bundanya. Hatinya masih kesal.

"Sebentar lagi hampir siang," ujar Ning Warsih. "Ibu sudah sediakan makanan untuk kamu. Ibu buatkan semur jengkol balado dengan pedas yang amat sangat, pasti kamu suka!" Arya Welang tetap membisu dan muka membesi.

"Nak..ayolah kita makan dulu. Pasti kamu sudah lapar."

Arya Welang tidak menjawab, Ia tetap berdiam diri.

"Nak!..Kamu marah yah sama ibu mu,?" tanya Ning Warsih, seraya menghampiri lalu duduk di samping Arya Welang di bongkahan batu sangat besar. Kakinya di turunkan mencelup air sangat bening aliran sungai itu. "Maaf kan perbuatan ibu. Ibu khilaf. Seharusnya ibu sudah bertaubat." Ning Warsih menundukan kepala sebelumnya sempat melirik ke wajah Arya Welang yang memerah menahan marah.

Arya Welang dan Ning Warsih terdiam sejenak. Tak lama kemudian Ning Warsih mulai membuka mulut kembali, "Ibumu yang hina ini ingin sekali mendidik kamu menjadi pendekar tangguh. Semua ilmu ibu akan ibu turunkan kepada kamu sebagai pewaris selanjutnya dari eyang kita yaitu eyang soka." Ning Warsih bercerita.

"Seharusnya hari ini di bulan purnama tepatnya nanti malam kamu akan aku wariskan berupa senjata sakti yaitu Senjata pusaka Kipas Sakti. Kipas sakti ini sangat di takuti oleh segala golongan dunia persilatan, karena dari itu, banyak yang ingin merebutnya dari tanganku. Kalau kamu tidak pandai menjaganya dan terlepas dari tangan kamu lalu berpindah ke tangan pendekar dari golongan hitam, maka bencanalah bagi dunia persilatan," terang Ning Warsih. "Aku akan mengajarkanmu ilmu Balung Besi Pemikat Dara untuk kau jadikan ilmu sebagai ilmu yang sangat bermanfaat untuk pengobatan alternatif, khususnya untuk pria yang mempunyai penyakit impoten.

"Selain kamu tangguh dalam bertarung, kamu juga pandai dalam ilmu pengobatan anakku," lanjut Ning Warsih menerangkan. "Apakah kamu mau mempelajarinya?"

Arya welang tak langsung menjawab. Hatinya masih kesal dengan kelakuan bundanya, walaupun ia ingin sekali mempelajari apa yang di utarakan bundanya, juga menjadi pewaris tunggal senjata pusaka Kipas Sakti yang di maksudkan sang bunda. Seraya hanya menunduk, terkadang melengoskan wajah menatap kesamping tidak mau bertatapan dengan bundanya.

"Baiklah, mungkin kamu masih kesal sama ibumu. Nanti kalau kamu sudah hilang rasa kesal kamu, temukan ibu. kalau bisa sore ini juga harus sudah kau jawab. Jangan sampai bulan purnama berlalu malam ini." Ning Warsih segera meninggalkan Arya Welang yang masih duduk termangu. Tatapannya kosong kedepan.

***

Senja merangkak naik. Surya hampir tenggelam di ufuk barat. Arya Welang pulang dengan wajah masam dan langkah lunglai. Sang Bunda melihat anaknya pulang segera ia menyapanya di depan pemondokan. "Syukurlah kamu sudah pulang nak, ibu khawatir sekali sama kamu, apalagi kamu belum makan sedari pagi, mau ibu sediakan makanan!" ujar Ning Warsih. "ibu bakar ayam kesukaan kamu dengan sambal tomat, pasti kamu lahap memakannya." Ning Warsih mencoba mencairkan kekesalan Arya Welang kepadanya.

Arya Welang hanya mengangguk petanda mengiyakan. Senang sekali Ning Warsih melihat anaknya kembali mau menyapanya walau hanya anggukan kepala. Disediakannya makanan dan lauk pauknya, serta minuman hangat berupa bandrek. Lahaplah Arya Welang menikmati makanan dan minuman yang di sediakan Ning Warsih. Sebaliknya Ning Warsih pun senang melihat anaknya bisa di bujuk untuk rujuk kepadanya. Malam pun telah tiba. Tiba saatnya Ning Warsih mendengar jawaban dari Arya Welang perihal ritual penyerahan senjata sakti berupa kipas, tepat di malam purnama nanti.

"Ibu..maafkan aku ibu! Memang tidak sepatutnya Arya marah sama ibu," kata Arya Welang membuka pembicaraan. "Arya siap bu menerima ilmu yang akan di berikan nanti malam!"

Ning Warsih tersenyum. Tampak wajah sumringah terpancar dari wajah Ning Warsih. Hatinya merasa puas. Dengan langkah cepat ia segera bangkit menuju kamarnya. Entah apa yang akan di lakukannya. Arya Welang hanya menatap ibunya dengan mata sayu. Tak lama kemudian, Ning Warsih berkata dari dalam kamarnya. "Anakku nanti setelah purnama terlihat, kita siap-siap kepuncak gunung merapi, di sanalah aku akan menurunkan ilmu ku dan menyerahkan kipas pusaka itu."

"Baik bu!" ucap Arya Welang.

DUA
Puncak gunung merapi sangat mencekam. Hanya suara gemuruh lahar yang bergejolak menguarkan suara yang mengerikan. Awan kabut berarak memapas pepohonan yang masih bisa tumbuh di puncak gunung merapi. Dua sosok tubuh manusia berjalan sangat cekat sekali, dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, dua orang itu sudah sampai ke puncak gunung merapi. Dua orang itu bukan lain adalah Ning Warsih dan Arya Welang. Tiba saatnya antara ibu dan anak itu untuk mentransfer kekuatan. Di bawah bulan purnama yang begitu indah tampak memutih bulat di atas kepala. Arya Welang dan bundanya duduk berhadapan bersila di atas sebongkah batu sebesar cukup untuk di duduki dua orang itu.

Dengan di selimuti hawa dingin dari puncak gunung sangat menggigilkan badan. Tapi rasa dingin ini tidak serta merta di rasakan oleh Ning Warsih dan Arya Welang. Mereka saling bertatapan. Tak lama kemudian Ning Warsih mulai membuka mulut. "Anakku! Di bawah rembulan penuh ini, aku akan mewariskan senjata yang di turunkan oleh Eyang Soka kepadaku, untuk kembali ku serahkan padamu sebagai penganti ibumu. Senjata ini tidak olah-olah hebatnya. Dengan senjata ini kamu dapat menumpas kejahatan di muka bumi dan kamu akan di segani di dunia persilatan di delapan penjuru mata angin, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Tapi ibu mohon padamu untuk selalu membela yang benar dan lemah." Ning Warsih menerangkan dengan wajah penuh harap.

Tak lama kemudian, Ning Warsih membuka pakaian luarnya, kini ia hanya memakai baju Tshirt tipis dan putih, sehingga tampak terlihat buah dada yang besar dengan pentilnya yang seksi. Arya Welang melihat itu, Ia segera menundukan wajahnya, ada rasa malu dan jengah apa yang di lihatnya walau bersama bundanya sendiri.

Di ambil dari selipan pinggang sebuah benda yang sangat unik dan cantik. Benda itu beruapa Kipas lipat dengan motif bergambar Pedang dan Bunga rose. Warna jingga bahan kainnya dan berbatang dari kayu cendana yang mewangi semerbak harum. Harumnya terasa sangat menyengat hidung, tentu aroma wangi bukan sembarang wangi. Wangi yang sudah di sertai dengan mantra-mantra kesaktian.

"Anakku! Inilah kipas yang ibu maksud, terimalah sebagai generasi penerus benda pusaka ini." Ning Warsih mengulurkan tangannya dan memberikan Kipas Sakti itu kepada Arya Welang. Lelaki remaja itu segera menerima Kipas Sakti pemberian bundanya dengan senang hati dan kagum. "Terima kasih bunda! Lalu apa yang akan aku lakukan setelah ini," tanya Arya Welang.

"Anakku..Ada mantera yang aku salurkan kepadamu melalui tenaga dalam. Mantera itulah yang akan membawa kamu menjadi orang tersakti ketika menggunakan Kipas Sakti ini!" ujar Ning Warsih. "Dan mantra ini juga jangan sampai di dengar oleh orang lain yang ingin merebut Kipas Sakti ini. Kamu harus menjaganya dengan baik-baik kipas ini."

"Aku paham bu!"

"Baiklah sekarang lepaskan seluruh pakaian kamu, ibu akan melepaskan ilmu ini kepadamu." kata Ning Warsih. Medengar perintah sang bunda, Arya Welang mendongakkan kepala dan menatap bundanya dengan tanda tanya. "Ah ibu..Apakah dengan cara itu ibu mentransfer ilmu kepadaku?" Ning Warsih mengangguk. Lalu kembali berkata: "Kenapa anakku, apakah kamu malu di depan ibu dengan bertelanjang bulat?" Arya Welang tidak menjawab, di hatinya ragu untuk melaksanakan perintah bundanya.

"Cepat anakku!..Sebentar lagi rembulan hampir redup. Kalau tertinggal, kamu akan menjalani bulan purnama tahun depan." sentak Ning Warsih dengan wajah kebat-kebit. "Baiklah bu..aku turuti perintah ibu, walaupun sebenarnya aku malu bu!" Arya Welang menjawab sambil bangkit dari duduk silanya. Ning Warsih pun mengikuti bangun dari duduk dan berdiri di depan Arya welang.

Perlahan Arya Welang melepaskan pakaiannya satu persatu, sehingga tampak sehelai benangpun menutupi tubuhnya di malam yang dingin dan berkabut itu. Tubuhnya terlihat sedikit kurus namun berbidang. Melihat anaknya mulai membuka pakaian, Ning warsih sempat merasa jengah, dengan ragu ia membuang pandangannya kejurusan lain. Namun mau gak mau ia pun harus melihat juga penis anaknya. Penis yang mulai di tumbuhi bulu-bulu keriting itu membuat Ning Warsih tak bisa diam. Di hatinya berkata: "Penismu panjang besar juga anakku. Apalagi nanti kalau kamu sudah mempunyai ilmu Balung Besi Pemikat Sukma, dan ramuan untuk memperbesar penis," batin Ning Warsih. "Kamu akan menjadi pendekar yang sakti, bukan hanya di petarungan tapi juga di atas ranjang yang akan membuat wanita-wanitamu merem-melek keenakan."

"Silahkan ibu! Aku sudah siap menerima ilmu yang ibu berikan." ucap Arya Welang menyeringai dan wajah memerah menahan malu tampa pakaian di depan bundanya. Tak lama kemudian Ning Warsih melepaskan pakaian yang di kenakannya. Tentu membuat Arya Welang terkejut bukan alang kepalang. "Ibu apa yang ibu lakukan dengan melepaskan pakaian juga?" tanya Arya Welang bingung. Ning Warsih hanya tersenyum lalu berkata. "Seharusnya begini anakku cara mentransfernya. Ini pun pernah di lakukan oleh Eyang Soka saat aku mau menerima ilmu ini." ujar Ning Warsih. Kini terlihat jelas tubuh seksi Ning Warsih, walaupun sedikit samar karena gelapnya awan kabut dan malam. Namun kerena malam purnama sehingga dapat menerangi apa yang ada di bawahnya.

Buah dada masih tampak mengkel seperti pepaya matang dan pentil susu coklat meranum sangat indah di lihat. Uddel pusatnya sangat dalam dengan pinggang yang ramping. Namun tak lebih cantiknya ketika Arya Welang manatap Vagina bundanya sendiri yang tampak tembem dan besar batoknya membuat Arya Welang menyentak. Terasa penisnya berdiri mengacung. baru pertama kali Ia memandang tubuh seorang wanita. Tubuh yang beda dengan bentuk tubuhnya. Dilihat samar bulu-bulu halus mengelilingi di sekitar vagina, sungguh unik bentuknya. Itu baru luarnya, apalagi kalau melihat dalamannya, mungkin akan lebih indah lagi mempesona.

Melihat penis anaknya mengacung, Ning Warsih membatin, "Rupanya anakku mulai terangsang." Segera ia mengangkat tangan kelangit. Sambil membaca mantra-mantra Ning Warsih tampak bergetar tubuhnya, tanganya kembali diturunkan lalu di rentangkan di dada. Menarik nafas panjang, lalu mengusap dengan telapak tangan keseluruh tubuhnya. Keluarlah sinar putih dari telapak tangannya. Warnanya sangat menyilaukan mata, terang menderanglah puncak gunung merapi akibat pancaran sinar putih yang keluar dari tubuh Ning Warsih.

Lalu sinar itu di hempaskan ke tubuh Arya Welang yang sedang berdiri tegap bugil. Sempat beringsut kebelakang, namun Arya Welang segera menahannya seraya tetap berdiri tegak. Sinar putih itu membalut tubuh Arya Welang dengan berputar-putar mengelilingi tubuhnya. Rasa panas di rasakan seluruh tubuhnya terasa seperti di bakar. 

Arrggh....

Arya welang berteriak perlahan. Di rentangkan kedua tangannya lalu di kibaskan ke langit. Tak lama kemudian sinar putih itu masuk lenyap ke dalam tubuh Arya Welang. "Ups...aahh.." Arya Welang menutup telapak tangannya pertanda dia sudah menerima ilmu maha dasyat dari sang bunda berupa kunci mantra Kipas Sakti.

Melihat Arya Welang berhasil menerima ilmu kanuragan yang di milkinya, senanglah hati Ning Warsih. Tidak sia-sia ia mendidik dan menggembleng Arya Welang selama ini. Namun rasa senang itu hanya sementara, tubuhnya lemas lunglai. Mata kunang-kunang dan kepala terasa berat di rasakan. Tak lama kemudian Ning Warsih jatuh melongsoh pingsan tak sadarkan diri.

Melihat sang bunda jatuh pingsan, tercekatlah Arya Welang. Segera ia mengulurkan tangannya untuk membangunkan bundanya

"Ibu..ibu..bangun bu!" Sambil menggoyangkan tubuh Ning Warsih. Arya Welang segera mengalirkan tenaga dalamnya untuk menetralisi tubuh Ning Warsih. "Jajak opat perapatan setu. Welas asih penyakit minggat jeng.. Jeng.. Jeng.. Jengkoreng cuih cuih cuih." Di tiupkanya mantra itu lalu di usapkannya ketubuh Ning Warsih. Kira-kira lima detik mata Ning Warsih terbuka. Ehm..ehm..ehm..Ning Warsih terbatuk ringan, dan ia pun mulai sadarkan diri.

"Syukur ibu! Ibu sudah siuman!" ucap Arya Welang lalu tersenyum pada bundanya. 

"Ya sudah. Pakai kembali pakaianmu." kata Ning Warsih. Rupanya Arya Welang baru sadar kalau Dia tidak berpakaian. Segera Arya Welang mengambil pakaian yang di tanggalnya. "Ya ibu, ibu juga pakai kembali pakaian ibu," Arya Welang mengulurkan tangan untuk memberi pakaian Ning Warsih sambil wajah melengos ke jurusan lain karena malu melihat aurat bundanya sendiri.

Tiga

Tiga Tahun Kemudian

Suasana pasar pacitan sangat ramai. Banyak pembeli dan pedagang sibuk dengan tawar menawarnya. Seorang lelaki berbadan besar dengan wajah penuh bawuk merambat lebat di bawah janggutnya sampai ke pipi. Seraya memegang tombak sangat panjang. Dan dari balik bajunya terselip sebuah senjata mirip kujang. Matanya tajam menatap lekat-lekat kesetiap pengunjung pasar. Dengan merangkapkan tangan tampak orang itu sedang mengintai seseorang yang harus segera di bawa ke kota raja.

Pemuda berbaju merah. Dengan ikat kepala warna hijau, wajahnya alay sangat tampan dan keren di pandang. Apalagi banyak wanita tersenyum simpul berhadapan dengannya. Dengan lahapnya pemuda ini menikmati makanan di warung kedai. Seteguk baru saja membasahi tenggorokannya, tiba-tiban di depan pintu kedai itu berdiri lelaki tampang seram, bawuk lebat dan bersenjatakan seperti kujang. Seraya menyentak pemuda yang sedang malan itu.

"Hai..Kamu," kata orang itu dengan suara keras. "Aku baru pertama kali melihat kamu di sini. Siapa kamu." Orang itu menunjuk dengan jari telunjuk.

Mendengar sentakan, lalu pemuda itu menoleh. Dengan wajah tenang pemuda itu menjawab dengan nada dingin. "Aku. Hanya kebetulan saja lewat pasar ini. Karena perutku lapar akhirnya aku masuk ke kedai ini."

"Dari mana kamu?" tanya kembali orang dengan bewok lebat itu.

"Aku baru saja turun dari gunung merapi," jawab pemuda itu.

"Apa tujuan kamu sampai kemari."

"Kan aku sudah bilang! Aku hanya kebetulan lewat sini! Kepo amat sii." jelas pemuda itu. Sambil menguarkan duit untuk membayar makanan yang di pesannya.

"Maaf kisanak! Kami prajurit kota raja sedang mencari buronan bernama Santar Ulung." ujar lelaki bawuk itu ternyata prajurit kerajaan. "Dia telah menculik putri Adipati Sukajaya. Apakah kisanak mengenalnya." yang di tanya mengkernyitkan kening.

Santar Ulung adalah sahabatnya sedari kecil. Namun seiring waktu, Arya Welang tidak pernah melihatnya lagi. Kabarnya dia pun telah turun gunung, entah kemana sahabatnya itu. Semenjak Arya Welang menerima Kipas Sakti dia tidak pernah menyambangi sahabatnya itu di Gunung Gede.

Namun kini teringat akan sahabatnya bernama Santar Alung. 

"Hai...pemuda! aku tanya malah melengoskan wajah," sentak prajurit itu. Tetap saja  Arya welang tidak menjawabnya. Setelah menghabiskan makanan lalu membayarnya Arya Welang segera berdiri lalu melangkah keluar. Namun ketika Arya Welang di depan pintu kedai, prajurit tadi langsung menghadangnya. "Mau kemana kamu. Pertanyaan aku belum kau jawab!" Dengan wajah garang, mata melotot, prajurit itu mngulurkan senjatanya tepat di leher Arya Welang.

"Maaf aku sudah selesai makan. Kini aku harus kembali meneruskan perjalananku." Arya Welang menjawab. Tubuhnya tertahan akibat todongan senjata prajurit itu. 

"Tidak boleh meninggalkan desa ini sebelum kau sebutkan siapa kamu dan mau kemana tujuan kami. Serta aku tanya apakah kenal dengan pendekar berjuluk 'Pendekar Halilintar'," cecar prajurit dengan bawuk lebat itu. 

"Aku tidak kenal dengan pendekar Halilintar" jawab Arya Welang dengan nada dingin. Namun di dalam hati Arya Welang bergumam: "Hebat sahabatku dari gunung gede itu. Mempunyai julukan Pendekar Halilintar"

"Maaf prajurit lepaskan senjatamu dari leherku," pinta Arya Welang. "Tidak sebelum kau beri keterangan yang jelas." balas prajurit bawuk.

"Hai..prajurit jangan sampai aku menurunkan tangan jahat padamu," Arya Welang mengancam. "Jangan sampai ada selang seketa antara kita. Arya Welang menyentuh lengan prajurit itu agar mau menurunkan senjatanya dari leher. "Bangsat lancang sekali kamu sama abdi kerajaan." Dengan wajah merah, prajurit bawuk itu segera menyentikan tangan. 

Tak lama kemudian lima orang prajuritnya berhamburan turun dari kuda lalu menghampiri prajurit bewok itu. "Tangkap orang ini dan bawa dia ke kotaraja!" Prajurit bewok itu memberi perintah. Kelima orang berseragam abdi kerajaan segera mengelilingi Arya Welang.
Pemuda yang satu ini hanya tenang tampa ada rasa takut di hatinya. Serangan awal datang dari sebelah kiri, sabetan pedang memapas batang lehernya. Arya Welang hanya beringsut mengelak. Hampir saja ujung pedang menyobek, dengan sebat Arya Welang membalas dengan jotosan ke muka. Prajurit itu sempat berpaling ke kanan, tapi kasip jotosan Arya Welang lebih dulu mendarat di wajahnya. Prajurit itu mundur seraya menutupi wajahnya, sambil berteriak kesakitan yang sangat amat.

Melihat serangan anak buahnya berhamburan, prajurit bewok tercekat. "Sialan kowe, berani sama alat kerajaan." Prajurit bawuk itu segera menarik senjatanya. Di kuarkannya sebilah berbentuk kujang. Tercium bau mewangi
Dari senjata milik prajurit bawuk itu. Serta merta di iringi sinar kuning kehijauan keluar dari sarungnya ketika sebilah senjata itu di keluarkan. 

Arya Welang segera pasang kuda. Tangannya di usap-usap. Setengah tenaga dalam di aliri ketubuhnya. Dengan mimik wajah tampa ada rasa gentar sedikit pun menghadapi prajurit-prajurit itu. Prajurit Bawuk melompat kemuka. Senjatanya menghunus lurus menghujam perut Arya Welang. Dengan cekat pemuda itu menyamping dengan gerakan ringan. Di saat sabetan kedua yang hampir merobek perut pemuda itu, tiba-tiba hawa panas menguar dari tubuh pemuda itu yang bukan lain Arya Welang. Tampa olah-olah Arya Welang menghantam tepat mengenai dadanya. 'Buuk...' prajurit itu seloyongan kebelakang. Walaupun sempat menahan dengan tangan kiri agar tidak jatuh. Namun dadanya terkena hantaman yang sudah di sertai dengan tenaga dalam, membuat prajurit bawuk ink meringis kesakitan. Dadanya panas, nafasnya tersengal-sengal dan wajah memerah, membuat prajurit bawuk itu menelan ludah malu di hadapan anak buahnya.

"Cuih..." Seraya meludah. "Pemuda semprul, cari mapus kowe." Hardiknya penuh emosi. Lalu Ia mundur ke belakang sekira setengah tombak. Telapak tangannya di buka lebar. Lalu di putar-putar. Dengan menghela nafas lalu menariknya kembali prajurit itu menghentakan tangannya. Sinar hitam bergulung-gulung melesat ke arah Arya Welang. Ketika itu Arya Welang baru saja merenggangkan ototnya. Tiba-tiba angin panas melabrak tubuhnya. Arya Welang terkesiap. Segera ia menguarkan ilmu Benteng Penghalang Badai. 

Saat hembusan angin panas yang di semburkan oleh prajurit bawuk itu. Arya Welang segera manangkis dengan ilmu Benteng Penghalang Badai. Olah-olah percikan api mencelat hebat. Suaranya berdentum memecahkan gendang telinga. Semua yang menyaksikan pertempuran itu, bergidik. Tak kecuali Arya Welang seraya bergumam di hati "Gila..hebat juga orang ini." tampa ambil waktu lagi, Arya Welang menguarkan  Kipas sakti pemberian bundanya. Pertama kalinya Arya Welang menggunakan kipas sakti itu. 

Prajurit bawuk itu meleletkan lidah, kagum dengan pemuda ini. Tenaga dalam yang paling tinggi dapat di tangkisnya. Namun tak kalah kejutnya ketika Arya Welang menguarkan Kipas yang paling di takuti oleh pendekar dari golongan hitam maupun golongan putih.

"Hai siapa kau pemuda,?" tanya prajurit bawuk. Rupanya kau mempunyai kipas sakti itu, hanya satu orang yang memiliki kipas itu. Dia Ning Warsih. Apakah ada hubungannya sama kisanak," 

Arye Welang menyeringai. "Kenapa kau tanyakan itu. Apa kau mengenal ibuku?" kata Arya Welang bertanya. Karena prajurut berbawuk lebat tidak menyerang, Arya Welang segera menyelipkan kipasnya kembali.

Terkejutlah prajurit bawuk lebat. Ternyata di hadapannya adalah putra dari wanita yang pernah ia tiduri di masa lalu. Ning Warsih memang pendekar wanita berotak mesum. Sehingga banyak lelaki berhasil menidurinya. Sedang kan Arya Welang entah dari bapak yang mana. Berdiam sejenak prajurit bawuk itu.

"Baik lah! Hai pendekar! Aku percaya padamu. Tapi Aku pinta tolong beri tahu kami apabila melihat bajingan yang bernama Santar Ulung.Dia telah menculik seorang putri dari Adipati Sukajaya. Dan sebarkan berita kalau pendekar Halilintar itu sebagai buronan kerajaan." terang prajurit bawuk memberi penjelasan. "Oh yah...bagaimana kabar ibu mu, wahai pendekar muda" pertanyaan penuh tanda tanya di hati Arya Welang. Rupanya nama ibunya sangat tersohor di seantero jagad raya.

"Ada apa urusan antara kamu sama ibu ku." Arya Welang balik bertanya.

"Ibu mu sangat di segani dan paling di cari oleh para pendekar berotak mesum." kata prajurit bawuk sambil tertawa kecil. 

Jawaban yang sangat mengejek bagi Arya Welang. Walaupun dia tahu perbuatan ibunya. Tapi dia tidak terima menjadi bahan gunjingann omongan orang-orang. "Jaga mulut bacotmu!" gertak Arya Welang.

Yang di gertak malah tertawa. "Hahahaha..maaf kalau aku lancang," Prajurit bawuk gelak-gelak. "Semua pendekar golongan hitam sudah pernah merasakan nikmatnya tubuh ibu mu. Bahkan aku sendiri pernah merasakan enaknya liang memek ibu kamu. Hahahaha" 

Wajah Arya Welang merah padam. Rahangnya naik turun pertanda marah. "Manusia tengil, akan aku sobek mulutmu." Arya Welang segera melompat kedepan. Tangannya mengulur kedepan menguarkan angin panas tidak olah-olah menerjang tubuh Prajurit bawuk. Ia pun terkesiap ke kiri tapi kasip sinar panas itu mengenai bahu kanan, mengepul asap hitam dari bahu prajurit itu. "Argh..." tubuh terpelanting lalu melosoh kebawah dengan teriakan melengking.

Melihat ketuanya di kalahkan prajurit yang lain sontak menyerang Arya Welang. Namun beberapa jurus saja dua prajurit merwnggang nyawa terkena hantaman ilmu "Benteng Penghalang Badai" dasyatnya tidak olah-olah. Tentu prajurit itu dapat mudah di kalahkan, karena kehebatan ilmunya di bawah prajurit bawuk. Melihat lawannya tangguh tak terkalahkan, kecutlah hati keempat prujurit lainnya. Satu persatu mereka mundur.

Sama halnya prajurit yang mempunyai bawuk ranggas dan lebat. Hatinya kebat-kebit dan nyalinya turun. Lalu Ia berkata "Baiklah pemuda aku kalah, jangan kau bunuh aku," pinta prajurit bawuk.

"Bicaramu itu yang keren membuatku marah," hardik Arya Welang dengan mata menyolot. "Kau ku maafkan. Tapi ada syartnya." Arya Welang menyilangkan tangan di dada. 

"Apa itu pemuda gagah!?" jawab prajurit bawuk.

"Antarkan aku ke adipati Sukajaya. Aku akan bertemu denganya."

"Ah pendekar hebat, dengan senang hati." ucap prajurit bawuk. "Mari aku antarkan kamu ke aula Adipati sukajaya. Setelah berkata begitu. Prajurit bawuk dengan langkah gontai akibat masih terasa panas di bahunya akibat terkena sambaran ilmu 'Benteng Penahan Badai yang di semburkan oleh Arya Welang. Seraya segera manaiki kudanya di ikuti ke empat prajuritnya. Lalu Arya Welang menyusul dari belakang.

Empat

Baru saja senja turun. Tampak warna jingga mekukis dari ufuk barat. Suasana dingin di bukit penuh bebatuan dan jurang terjal. Di bawah tanah yang terjal, air sunga mengalir dengan deras. Air bah yang turun dari lereng gunung gede menimbulkan suara irama alam yang sangat indah terdengar di telinga. Di balik gundukan tanah tampang sebuah lubang sang kecil seukuran tubuh dewasa. Gua itu sangat gelap. Di tambah matahari akan tenggelam menyinari bumi. Malam akan tiba. Terdengar suara merintih dan menangis dari dalam gua itu.

Suaranya sangat menyayat hati. Suara dari seorang wanita. Di susul dengan suara gelak tawa seorang lelaki. Suaranya menggema seantero gua itu. "Hahaha..kamu sangat cantik. Tubuhnya indah. Aku suka melihatnya." Suara lelaki itu nanar penuh nafsu. 

"Tunggu dulu. Aku akan menyalahkan obor dulu agar aku bisa menikmati tubuhmu dan jelas melihat vaginamu hahahaha." gelak tawa itu menggema sehingga terdengar sampai keluar goa. 

Sementara wanita itu terikat di dalam kerangkeng, seperti kerangkeng ayam jago. Posisi duduk dengan kedua kaki dan tangannya terikat. Wanita itu menangis sedu sedan. Tampa raungan lagi. Cukup lelah wanita ini akibat menangis dan ketakutan dengan sangat amat. Tampak pakaiannya terbuka 
Dada, sehingga susu dada yang putih meranum terlihat, walau susana samar di dalam goa itu. 

Tak berapa lama suasana menjadi terang. Sinar obor menerangi seantero dalam goa yang gelap. Tampak lelaki itu mendekati wanita yang tak berdaya. "Aih...cantik sekali wanita ini," gumamnya menyeringai. Dengan tersenyum lelaki ini berkata. "Maafkan aku Wulansari. Terpaksa aku harus menculikmu, karena aku jatuh hati padamu. Namun ayahmu sebagai Adipati sukajaya tidak menyetujui lamaranku. Bahkan dia telah menghinaku." ujar lelaki itu berkata kepada wanita yang terikat di dalam kerangkeng seperti kerangkeng ayam. Wanita itu ternyata bernama Wulansari, anak adipati sukajaya yang di culik oleh Santar Ulung.

Lelaki itu bukan lain Santar Ulung, membuka kerangkeng itu. Lalu mendekati Wulansari. "Jangan mendekatiku," Wulansari menyentak dengan mata nanar. Santar Ulung menyeringai cengir. "Sayang..jangan galak-galak ah. Aku hanya ingin memandang wajahmu itu saja." Santar Ulung berujar.

"Jangan coba-coba menyentuh tubuhku. Kamu tahu akibatnya jika menculik Abdi Kerajaan. Kamu akan masuk penjara." Wulansari mengancam. Namun lelaki yang di ancam malah memberanikan diri mendekati dan membelai rambut Wulansari. 

"Ayolah sayang...aku hanya ingin mencicipi wajahmu yang indah. Aku suka denganmu Wulan!" Santar Ulung menjulurkan mulutnya. Wulansari menarik wajahnya. Walaupun kerangkeng sudah di buka namun tangan dan kakinya masih terikat. Mencoba beringsur mundur dengan menggunakan bokongnya. 

"Lelaki jadah. Jangan macam-macam padaku!" kembali Wulansari menyentak. Lelaki gemblung kurang ajar kamu!"

"Hahahaha..Wulan, wulan. Semakin kau berontak, semakin kerasa masalah yang kau hadapi. Aku sudah berkata baik-baik padamu dan ayahmu. Tapi kalian balas dengan kata-kata yang menyakitiku. Akan aku jalas rasa sakit hatiku kepada ayahmu." Santar Ulung mengancam. Membuat hati Wulansari kebat-kebit. Apakah keperawanannya akan hilang dengan lelaki jadah ini. Walaupun Santar Ulung cukup tampan dan gagah. 

"Uhuk.. Uhuk.. Uhuk.. " tangisan wulansari lirih. Seraya merapatkan kedua pahanya lalu di peluknya rapat, sebingga membuat Santar Alung sulit untuk menjamahnya. "Jangan sakiti aku. Jangan...uhuk.. Uhuk.. Uhuk"

Santar alung terdiam sejenak. Wajahnya tampak memandangi dengan lekat. Ada rasa kasihan di hatinya. Namun rasa cinta yang paling dalam terpaksa ia harus melakukan penculikan, hanya untuk melampiaskan rasa cintanya yang tak terbalas. Lalu Santar ulung mengulurkan tangan dan menjamah kedua tangan Wulansari yang masih berlindung di balik kedua pahanya memeluk erat. 

"Wulan.. Aku hanya ingin malam ini memandang wajahmu. Hanya itu. Kamu tidak akan aku apa-apakan. Aku hanya ingin berbicara saja padamu. Itu maksudku menculikmu. Setelah itu, kamu akan aku antarkan pulang kembali ke rumah orang tuamu."

Mendengar pengakuan Santar Ulung dengan perasaan di dalam hati. Membuat Wulansari luruh. Walaupun masih terbesit di dalam hati apakah benar perkataannya bisa di pegang.
Tak lama kemudian Wulansari mendongakan wajahnya. Goa gelap gulita, namun dengan beberapa penerang obor. Tampak jelas wajah mereka masing-masing. Dengan posisi berjongkok, Santar Alung membelai wajah Wulansari. Di hapusnya air mata yang berderai. Matanya terlihat sembab, serta sedikit mengembung di lingkaran rongga mata akibat banyak menangis. Di sibaknya rambut yang menutupi wajah Wulansari. Kini kecantikan terlihat jelas di pelupuk mata Santar Ulung menatap tajam bibir yang merah merona serta pipi Wulansari yang halus lembut.

"Sungguh cantik wajah kamu wulan," rayu Santar Alung dengan nada berat.
Wulansari membalas menatap nanar. Masih ada kekalutan di hatinya untuk mempercayai lelaki yang menculiknya. Namun mendengar pengakuannya membuat hati Wulansari terenyuh, luluh perasaannya. Sebagai seorang wanita yang belum pernah merasakan cinta dan rayuan dari seorang lelaki.

Santar Ulung masih saja membelai rambut Wulansari sambil menikmati keindahan wajahnya. Pandangan penuh hasrat itu membuat Wulansari tak berani menatap lama wajah Santar Alung seraya menundukan wajah penuh malu. Terkadang jari jemari Santar Alung merabah bibir Wulansari, hingga terasa deguban jantung Wulansari berdetak kencang. Hasrat pun telah bergejolak di dalam goa yang hanya di terangi lampu obor.

Santar Alung menjulurkan bibirnya. Di rasakan aroma mewangi dari hembusan nafas Wulansari. Sangat indah di rasa Santar Alung. Kini dia merasakan detak jantung berpacu cepat, terasa napas mewangi itu menghilangkan akal sehatnya. Pertama hanya ingin memandang wajah Wulansari, kini sudah terlupakan tertutupi gejolak hasrat penuh syahwat membuncah. Semakin dekat bibir Wulansari dengan bibirnya, semakin hangat di rasa.

Sama halnya dengan Wulansari. Dengusan napas Santar Alung yang semakin mendekat terasa hangat. Ada rasa ingin menolak, namun seperti daya magnet membuat Wulansari tak sanggup untuk menolaknya. Napasnya berpacu cepat seiring semakin dekat bibir Santar Alung dengan bibirnya. Kini bibir mereka menempel.

"Uum...ugh....ssst...eegh..." Wulansari berdesah ketika bibirnya di lumat."Ssst...aah..."

Tak hanya kehangatan bibir di rasakan Wulansari. Namun sudah menjalar keseluruh tubuh. Entah kenapa membuat Wulansari lupa melindungi buah dadanya. Kini dalam keadan duduk merasakan hangatnya seluruh tubuh, ia pun lupa merapatkan pahanya tampa terasa Ia buka kedua pahanya lebar, sehingga kain uang menutupi kini tersingkap keatas. Tampaklah paha yang putih mulus walau sedikit samar. 

Santar Alungpun tampa di sadari mulai bergerak indah. Tangannya mulai leluasa merabah sekenanya. Di rebahkan tubuh Wulansari, sambil terus melumat bibirnya. Wulansari mengikuti irama tubuh Santar Alung. Dengan posisi telentang, Wulansari merangkul punduk Santar Alung. Di dekapnya penuh kehangatan. Di rasakan tubuh Santar Alung sangat panas. Entah karena gejolak syahwat masing-masing sudah membuncah sehingga benturan energi sehingga menimbulkan hawa panas.

Di tengah ciuman Santar Alung yang dasyat. Di rasakan telapak tangan merabah pingiran pahanya. Hangat tapi terasa geli. Di tarik pinggang Santar Alung sehingga menindih tubuhnya. Kain penutup tubuh bawahnya sudah terlepas. Di rasakan tindihan penis Santar Alung terasa padat di rasa menyentuh vaginanya walau masih tertutup celana dalam. Sedangkan Santar Alung masih memakai celana luar. 

Wulansari mencoba menggoyang-goyangkan pinggul, sambil menyentakan kaki, sehingga makin padat saja di rasa vaginanya menempel bersentuhan dengan penis yang masih terbungkus. Berdenyut. Baru pertama kalinya Wulansari merasakan vaginanya berdenyut gatel. Serasa ingin di usap-usap. 

Sedangkan Santar Alung merasakan penisnya bergerak. Terasa penat di rasa. Sehingga rasa sakit karena tertahan oleh celananya. Namun bibirnya tidak mau terlepas dari bibir Wulansari. Dia masih ingin melahap abis bibir Wulansari. "Em..em..em.." 

"Akang..oh..udah kang...ah...Wulan gak bisa napas," racau Wulansari
"Akang udah..." Segera santar Alung menarik bibirnya. Dia tersenyum puas berhasil mendapatkan impiannya melumat bibir seksi Wulansari. Dalam posisi tegak berjongkok, Santar Alung melihat kebawah perut Wulansari. Tampak celana dalam yang di pakainya terlihat basah tepat di belahannya. Santar Alung terpana melihat batok vagina Wulansari tampak tembem dan indah walau masih terbungkus celana dalam. Belahannya menganga lebar, keluar air menjejak di celana dalam Wulansari. 

"Akang..kenapa di lihatin, aku malu" kata Wulansari sambil merapatkan paha. "Boleh aku pegang sayang" Santar Ulung berucap sambil mencoba membuka paha Wulansari. "Jangan ah! Aku malu kang.!" Wulansari meringis geli, bertahan merapatkan kaki dan pahanya, walaupun di dalam hati ingin selangkangannya di pegang. Vaginanya sedari tadi sudah berdenyut-denyut.

"Ayo sayaang...sedikit aja buka yah.!" bujuk Santar Alung penuh nafsu. " Dikitiit cuma secuil dah megangnya. Tak lama kemudian, Wulansari melebarkan sedikit pahanya. Saat itu juga, Santar Alung merabah perlahan gumpalan daging terbelah itu. Perlahan-lahan namun membuat Wulansari bergidik terangsang. "Oh...sayang...cantik sayang..oh..cantik...ah.." Santar Alung meracau. Membuat napas Wulansari tersengal-sengal di buatnya. Ada rasa lebih dalam rabahan di  vaginanya, tampa disadari Wulansari membuka lebar kedua pahanya sehingga belahan vagina meletek begitu nyata, walau masih terbungkus calana dalam yang sudah ternoda dengan air kenikmatan.

"Ssst...aduuh...geli akang aah...geli.." desahan Wulansari menambah Santar Alung semakin membuncah hebat. Penisnya mulai bergerak-gerak. Ia pun segera melepaskan seluruh pakaiannya. Sehingga bugil bebas dengan penis mengacung panjang. 

Tampa sepengetahuan Wulansari, Santar Alung sudah keadaan tampa benang sehelaipun, mencoba untuk mencium kembali bibir Wulansari sambil terus mengusap-usap vaginanya dalam posisi menelungkup. "Sayangku wulan! Oh..enak yah memeknya di usap-usap." bisik mesra Santar Alung di telinga Wulansari. "Egh...ssst..ea.." Wulansari hanya berdesah merasakan nikmatnya vagina di elus-elus oleh seoarang laki-laki.

Puas dengan permainan jarinya. Lalu perlahan Santar Alung mambuka celana dalam Wulansari secara cepat. Sehingga melorot kebawah, jelaslas di rasakan vagina Wualansari tampa penghalang lagi. Disentuh kembali vagina itu sambil terus melumat bibir Wulansari. Sedikit demi sedikit jari Santar Alung masuk kedalam vaginanya. "Duh....akang mau apa. Gelii gali kang ah...egh..." racau Wulansari. "Enakkan sayang uh...memek kamu hangat sayang uh...memek kamu hangat...." Santar Alung mengobel lebih dalam vagina Wulansari. Terasa hangat berlendir nikmat. "Kang...enaak...ah ....enak kang...egh..eest..." sambut Wulansari meringis. 

"Enak ya sayang" 

"Ho.. Ho.."

Sesaat Santar Alung melepaskan kobelannya. Lalu meraih tangan Wulansari yang melingkar di pinggang, lalu di tuntun untuk memegang penis yang sedari tadi mengacung keras. Waulansari mengikuti tangan Santar Alung. Alangkah terkejutnya Wulansari ketika dia di suruh oleh Santar Alung untuk memegang penisnya. Ada rasa geli dan ragu. Namun penasaran ingin merasakan bentuk penis lelaki sangat tinggi. Telanjur terangsang, Wulansari memberanikan diri untuk memegangnya.

"Akang Santar..ini punya akang!?." kata Wulansari sambil merabah penis Santar Alung. "Iya sayang..Rasakan oh...terus sayang di kocok di rabah sayang.." Desahan Santar Alung semaki  memberanikan diri Wulansari untuk lebih menikmati sensasi di telapak tangannya. "Uh...kontol akang besar banget..uh.." racau Wulansari. "Wulan.. Baru pertama kali akang..megang kontol ohh...sst..kontol akang lembuut.." Wulansari terus merabah penis Santar Alung sambil membalas ciuman Santar Alung. Sedangkan Santar Alung bergelinjang geli merasakan nikmatnya usapan telapak tangan Wulansari.

"Akang...kontol akang basah licin .. Uh.. Licin.." ujar Wulansari. "Uh .. Uh .. Uh.. Oh....kontol...oh... Kontol." desahan Wulan terus mengocok penis Santar Alung.

"Iya sayang.. Tangan kamu enak sayang.. Oh oh oh.." sambut Santar Alung mengerang." "Ssst...enaak...enak sayang..terus kocokin kontol akang ah.."

Mereka saling-silang mencengkram selangkangan masing-masing secara seirama dalam kelembutan malam yang dingin di luar sana. Wulansari masih keadaan telentang, kaki mengangkang di angkat ke atas. Sambil terus melahap bibir Santar Alung penuh nafsu membuncah. Sama halnya dengan Santar Alung dengan ciuman bertubi-tubi mengunyah lahap membuncah.

"Akang...oh... Kontol akang makin licin kang..uh..uh..uh" terasa licin penis Santar Alung, Wulansari terus mengocok maju mundur dengan telapak tangannya. Terkadang lobang penis di pilin-pilin dengan ibu jari sehingga menambah lucin dan geli rasakan Santar Alung. 

"Sayang...akang geli.. " kata Santar Alung, "Kamu suka yah, megang kontol aku." "Iya ..eegh...ssst...iya.. Kang..oh...kontol akang besar banget..." Wulansari merasakan sensasi di telapak tangannya. "Uh...kontol..oh..kontol..ah..oh.." 

Mereka terus meracau

"Ea..sst..memek wulan anget .. Oh .. Memek wulan anget." seru Santar Alung sambil terus mengobel dan mempilin kelentit Wulansari. "Akang..kontol akang hagat licin..oh..egh..kontol oh." desah Wulansari.

Setelah merasa puas dengan  sensasi permainan jari. Santar Alung bangkit lalu jongkok. Tal lama kemudian, satu persatu pakaian yang masih menutupi tubuh Wulansari, di bukanya. Sehingga tampak indah tubub Wulansari tampa benang sehelai pun. "Akang..aku malu.!" ucap Wulansari, masih menunduk malu tak berani melihat Santar Alung dalam keadaan bugil. Walaupun ia sempat memegang penis Santar Alung. Namun masih jengah melihat lansung bentuk dan rupanya secara detail.

"Sayang..coba buka mata kamu. Kita sudah sama-sama bugil. Apakah kamu tidak mau melihat penis aku!" ujar Santar Alung, sambil memegang dagu, lalu mengangkatnya. "Lihat coba kamu lihat wulan, kontol akang gede kan!" Wulansari memberanikan menatap lekat penis Santar Alung. Tampak sangat indah bentuknya. Dengan kepala lancip berwarna putih kusam dan batang berwarna coklat sawo, sungguh benda yang penuh seni dan pleksibel. Bisa endut-endutan pula. Tercengang Wulansark melihat alat kelamin seoarang pria. "Akang...cakep akang..kontol akang cakep.." seru Wulansari sambil mengulurkan tangannya untuk memegang kembali.

Santar Alung tidak mau kalah. Tangn kiri merema buah dada Wulansari yang membesar juga keras. "Sayang.. Oh.. Toket kamu indah banget...besar pula!" kata Santar Alung terus meremas payudara Wulansari. Sedangkan tangan kanan dwngan jari tengah, lanjut mengobel sehingga karam sampai tiga jari sekaligus ke liang Vagina Wulansari yang masih perawan.

Tiba-tiba Wulansari menjerit. "Aduh akang sakit." keluh Wulansari, sambil memegang tangan Santar Alung lalu mengibaskannya. "Sakit yah say!" Wulansari mengangguk. Di tariklah jari yang sudah karam itu. Tampak lendir yang sangat indah di lihat belumuran di telapak tangan Santar Alung. 

"Sayang..lendir memek kamu sangat indah.!" ucap Santar Alung sambil menunjukan tiga jari telapak tangannya yang berlendir licin karena air senggama Wulansari. 

"Akang jorok ih." seru Wulansari. " Bau tau kang!!" 

"Enak sayang..sungguh indah.." 

"Uh akang mah bikin Wulan jijik ih!"

"Tapi suka kan...!?" pedek Santar Alung

"Ho.. Ho.."

Wulansari mengangguk manja sambil mencubit pipi Santar Alung, lalu memainkan  lidahnya dengan mengibaskan kedua bibirnya. Membuat Santar Alung gemas melihatnya.

Lalu Santar Alung menarik tubuh Wulansari untuk bangkit dari telentangnya. Dengan penis masih mengacung panjang, lalu di sodorkan tepat di depan mulut Wulansari. "Sayang mau ngisap gak?!" kata Santar Alung. "Nih isap." 

Wulansari menggelengkan kepala. Masih ada jijik untuk mengisap dan memainkan penis dari seoarang lelaki di depannya. "Kamu jijik yah!" ucap Santar Alung. "Ya sudah kalau kamu gak mau!" Santar Alung mengingsutkan kembali  penisnya. Namun belum sempat beringsut kebelakang, tiba-tiba Wulansari mengulurkan tangannya cepat meraih penis Santar Alung "Mauuuuu.... " ujar Wulansari manja.

"Uh .. Dasar gadis nakal," kata Santar Alung.

"Hehehe!"  Wulansari tertawa kecil

Di cubit hidung Wulansari karena keregetan. Lalu Santar Alung mengulurkan kembali penisnya. "Awas hati-hati yang ngulumnya. Bae-bae kena gigi, ntar lecet." ujar Santar Alung menyeringai. Wulansari sunggingkan senyum manja. Lalu dengan menggosok penis Santar Alung secara perlahan, seraya mendekati mulutnya tepat di kepala penis. Penuh perasaan dan penasaran akan rasa penis seorang lelaki, "Em....em..." Wulansari menjulurkan lidahnya. Pertama ada rasa ragu di hatinya. Namun rasa penasaran dan sensasi, Wulansari memberanikan diri menjilati. Kepala penis lalu turun ke batang. "Emm...emm..." 

"Bagaimana sayang! Enak gak rasanya," tanya Santar Alung dengan tatapan nanar membuncah. "Ssst...enak sayang ohh...jilatan kamu oh...ngilu ..ssst aku ngilu sayang." desahan Santar Alung menggema seantero ruangan goa. "Uh...terus sayang uh..."

Wulansari dengan rakusnya mengusap-ngusap batang penis dengan lidah. Gerakannya sangat lincah. Menari-nari dengan air liur menambah sensasi dan licin penis Santar Alung. Ketika lubang seni Santar Alung di jilati, aroma bau yang menggoda. "Kang...air apa ini, kok licin di lidah wulan." seru Wulan, sambil mempilin-pilin lubang penis dengan jari jempolnya. "Uh...enak gak akang!?" sambung Wulasari. Yang di tanya mendongakkan kepala sambil bergelinjang. "Iyaa...enaakk...enaaak....uh...kamu nakal wulan.." 

Puas dengan jilatan. Wulansari mencoba untuk mengkulum penis mengacung itu. Pertama hanya kepala yang kandas ke rongga mulut Wulansari. Setelah bisa menyesuaikan lubang mulut dan kepala penis. Wulansari lebih kedalam lagi kulumannya. Santar Alung bergidik linu juga geli. "Uhhh....uuhh....yeah....eees..." menatap nanar kearah mulut Wulansari yang sedang menyepong penuh nafsu membuncah. "Nyem..nyem..nyem...ssst." Wulansari memandang keatas wajah Santar Alung. Tatapan matanya sayu menggoda. Dengan lincahnya Wulansari menguarkan lalu memasukan kembali penis Santar Alung di mulutnya. 

Beberapa menit kemudian, ada yang aneh di rasakan Santar Alung. Rasa yang mengganjal di penisnya. Seperti ada yang mau keluar. Urat-uratnya menegang, sambil menggidik tertahan. "Oh...oh...jangan! Jangan! Jangan..oh..." racau seperti ada yang tidak di ingini oleh Santar Alung. Inikah yang di namai klimaks. Inikah yang di namakan orgasme. Sungguh enak di rasa oleh Santar Alung. Baru pertama kali pemuda ini merasakan kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan petala langit dan petala bumi.

Tak lama kemudian tampa sepengetahuan Wulansari

Crot..

Crot..

Crot..

Semburan sperma pertama sangat banyak. Membuat Wulansari keselek sperma Santar Alung. ""Uwek..uwek..uwek.." Wulansari membuka mulutnya. Tampak menggumpal putih di dalam rongga mulutnya. "Ugh..ugh..ugh.." Wulansari seperti mau muntah. Benar saja, ketika mulutnya di buka lebar, dan membuangnya kebawah, sperma Santar Alung perlahan keluar dari mulut Wulansari. 

"Akang... Air apa ini? Kok bau sih," Wulansari bertanya bingung. "Uwekk...ih...gak enak...kentel bau!!" kembalj Wulansari berujar. 

"Gak tau sayang. Aku juga gak tau." ucap Santar Alung. Tubuhnya merasa lemas dan lunglai. "Rasanya ingin ku tahan. Tapi aku kasip sayang. Keburu keluar duluan. Oh maaf kan aku yah!" Santar Alung melemah. 

Sedangkan Wulansari membersihkan sperma yang masih tersisa di pinggiran rongga mulutnya. Rahangnya tampak naik turun, rupanya sedikit tertelan sperma Santar Alung. Dengan suara lembut Wulansari berkata: "Kang baunya aneh. Jarang sekali Wulan mencium aroma seperti itu," unglap Wulansari. "Aku suka dengan aroma baunya akang!" 

Santar Alung tersenyum nyi-nyir menyeringai. Wajahnya yang tertepa cahaya obor tampak tampan di lihat Wulansari. Apalagi dalam keadaan telanjang terlihat dadanya yang bidang. Namun tak kalah indahnya ketika penisnya mengacung. Walupun Wulansari belum merasakan jika penis yang indah itu merobek-robek vaginanya. Mungkin akan lebih nikmat di rasakan oleh Wulansari. Namun sayang, adegan pertama kali di rasakan hanya pada mulutnya. Sungguh di sayangkan betapa cepatnya penis itu menyemburkan cairan aneh yang wangi. Dan membuat yang punya penis itu lemas terkulai. Batin Wulansari

Hal yang sama di rasakan di dalam hati oleh Santar Alung. Sangat menyesal dia tidak bisa menahan sprotan yang keluar dari penisnya. Alangkah lemahnya dia, tidak bisa membuat puas Wulansari orgasme seperti dirinya. Dengan duduk berpelukan. Mereka berdiam sejenak merasakan kehangatan yang keluar dari tubuh mereka.

"Wulan sayang!" bisik Santar Alung lembut. "Aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi kekasih ku?" tegas Santar Alung membisikan dengan penuh kelemah lembutan.

 "Ehm.." jawab Wulansari dengan berdehem.

"Aku ingin ketegasan kamu. Aku sudah merasakan indahnya tubuhmu. Walau masih remang-remang kurang jelas aku melihatnya. Alangkah bahagianya akau apabila kita bisa mengulangi kembali. Tentu dengan keadaan yang lebih mendukung. Seperti di terangi lampu dan kasur yang empuk. Agar aku bisa melihat jelas memek kamu say. Dan kamu pun bisa melihat kontol aku." ujar Santar Alung.

Wualansari tersenyum manja lalu Ia berkata. "Akang harus menikah dengan Wualan!"

"Sudah jelas sayang aku akan menikahi kamu. Sebenarnya aku mencintai kamu semenjak aku datang ke desa Sukajaya dan melihat gadis cantik, yaitu kamu!" Wualansari menyeringai. Tak lama kemudian Ia bangun, lalu segera merapikan pakaiannya.

"Akang terus kita ngapain?" kata Wulansari. "Aku gak di ikat lagi," Mengejek Wulansari. Santar Alung tersenyum lalu kembali mencium Wulansari, namun kali ini yang di cium adalah keningnya.

***

Pagi itu matahari bersinar dengan malu-malu. Terinya redup, apalagi bila kabut awan memapas sinarnya. Sehingga siang telah datang namun hari terasa masih pagi. Dua Insan sedang berjemur dengan kehangatan yang keluar dari tubuh masing-masing dengan berpelukan.Wulansari bersandar manja di tubuh Santar Alung. Begitupun Santar Alung ia tak akan sedikitpun lalat menyentuh dari salah satu tubuh Wulansari. Jangan kan lalat, tai belek kalau terlihat di pelupuk matanya pasti akan di jentiknya.

Sekira sepeminum teh. Lamat-lamat terdengar suara derap kuda berarak-arakan. Suaranya terdengar dari jurusan barat. Suaranya bergemuruh berteriak riuh sang penunggangnya, seperti ada perang. Entah maksud apa suara derap kuda itu terdengar. Lalu bagaimana sikap Santar Alung mendengar suara derap kuda, yang jelas-jelas menuju ke arahnya, di mana Ia sembunyikan Wulansari anak dari Adipata Sukajaya.

Tunggu kisah selanjutnya. "Pertarungan di Bukit Cinta"



1 komentar:

  1. Mantabs bro (Y)
    http://kandangkucinggarong.blogspot.co.id/2012/02/pendekar-kampret-betina.html

    BalasHapus