Raut wajah lelaki itu, sangat lesuh terlihat, seperti ada beban yang ia rasakan. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya: "Bapak mau kemana?" tanyaku. Ia menoleh dan tersenyum tipis, ia menjawab: "Mau kebogor dek, nyari anak saya!"
"Lah..emang kemana anak bapak!?" ucapku sedikit bingung.
"Anakku menghilang seminggu yang lalu," ujar bapak itu kepadaku dengan wajah nanar dan mata yang berkaca-kaca. Aku terdiam sejenak, lalu mencoba untuk bertanya lagi. "Terakhir bapak lihat sama siapa dia berjalan atau bermain," kata ku penuh perhatian. Bapak itu menggelengkan kepala lalu berkata. " Semua teman-temannya bapak tanya tidak ada yang tahu."
"Anakku menghilang seminggu yang lalu," ujar bapak itu kepadaku dengan wajah nanar dan mata yang berkaca-kaca. Aku terdiam sejenak, lalu mencoba untuk bertanya lagi. "Terakhir bapak lihat sama siapa dia berjalan atau bermain," kata ku penuh perhatian. Bapak itu menggelengkan kepala lalu berkata. " Semua teman-temannya bapak tanya tidak ada yang tahu."
Aku menghela nafas panjang. Aku merasakan beban yang sangat berat terpancar dari raut wajah bapak peruh baya itu. Kesedihannya sangat aku rasakan. Betapa sedihnya orang tua kehilangan anaknya.
Tiba-tiba aku teringat wajah kedua orang tuaku yang sudah tiada meninggalkan dunia ini. Timbullah rasa kengen dan rindu aku rasakan di hati ini. Ingin rasanya aku merasakan kasih sayang mereka. Namun kini mereka lebih dulu meninggalkan dunia ini. Dan aku menyesal belum bisa membahagiakan mereka secara finansial mapun batin.
"Namanya siapa pak?" tanyaku kembali.
"Namanya Ari. Ia baru saja lulus sekolah setahun yang lalu. Berniat ingin mencari pekerjaan di kota, tapi kabar beritanya sampai sekarang bapak tidak mengetahui ia ada di mana!?"
Terlihat matanya berkaca-kaca. Aku yang mendengarnya jadi terharu. Ku coba untuk berdiam untuk mendengarkan apa yang ia uraikan. Tapi bapak itu malah berdiam membesi.
"Mungkin dia belum mau memberi tahu bapak kalau dia belum sukses," sambungku bertanya. "Ya mudah-mudahan!" Jawab Bapak itu.
Mobil Bus yang ku tumpangi melaju dengan cepat. Tikungan begitu tajam sang supir sangat lihay dalam mengendarai kendaraannya. Walaupun tampak lihay, ada tasa takut dihati ini. Was-was akan terjadi kecelakaan tentu sangat fatal, mungkin Bus ini akan terjun bebas kedalam jurang. Aku hanya berpegang erat dari sisi jendela sambil terus berdoa akan keselamatan.
Beberapa jarak lagi, terminal Bus terlihat. Deru mesin di kota jakarta sangat membisingkan telingaku. Debu bercampur pekatnya asap knalpot kendaraan, serta bau bensin yang menusuk hidung membuat kepala ku pusing. "Ah ... Panas sekali kota jakarta disiang hari. Tidak seperti di desa, sejuk nyaman dan terasa damai aku rasakan."
Kepergianku ke kota Jakarta untuk mengadu nasib, sama halnya mungkin dengan anak bapak tadi yang bercerita kepadaku. Hanya ia seorang lelaki, mungkin langkahnya lebih leluasa ketimbang aku seorang perempuan. Namun kepergianku atas restu orang-orang terdekatku, yang menyayangiku. Tidak seperti Ari, anak bapak tadi.
Ia pergi tampa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Sampailah aku di tempat orang yang akan memperkerjakanku. Seorang ibu muda yang akan mencarikan aku pekerjaan. Katanya pekerjaan itu dengan gaji yang lumayan besar, bahkan lebih dari pekerja buruh pabrik. Tawarannya itu membuat aku tergiur, sehingga aku memberanikan diri untuk menjalani pekerjaan itu. Pekerjaan sebagai pelayan Cafe di kota Jakarta.
Rumahnya sangat besar dan indah. Aku tertegun memandang di depan pintu gerbang tertutup rapat dan dijaga oleh dua orang berpakaian Satpam. Kedua orang itu memperhatikan aku, ketika aku berdiri didepan gerbang.
"Ada apa dek?" Salah satu satpam itu bertanya.
"Apakah ini rumah ibu Soraya!" aku balik bertanya.
"Ya benar!" jawab satpam itu, "Apakah mau bertemu dengan Ibu Soraya!?"
Aku mengangguk
Tak lama satpam itu menguarkan handpon, rupanya ia menghubungi Ibu Soraya sebagai majikannya. Lalu ia membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan aku untuk masuk. Kedua satpam itu sangat tampan, juga masih terlihat muda. Aku sempat terkesima ketika ia tersenyum padaku.
Tak lama kemudian seorang wanita berpakaian sangat seksi dan minim rok yang dikenakannya, terlihat pahanya putih mulus dan gempal. Walaupun aku sama-sama wanita, ada takjub juga dengan cara Ibu Soraya itu berpakaian. Ia menghampiriku. "Apakah ini adek Sari," sapanya. Aku tersenyum, "Ya bu ... Aku Sari," jawabku. Lalu ia mempersilahkan untuk kedalam rumahnya.
Sangat indah istana ini, pikirku di dalam hati. Perabotan rumah sangat indah mungkin harganya mahal-mahal. Guci besar itu mungkin di impor dari luar negeri. Ah, aku tidak terpikat dengan semua ini. Toh aku merantau ke jakarta untuk mencari pekerjaan, bukan untuk mengagumi harta orang lain. Sebenarnya aku lebih suka tinggal di desa. Namun karena kebutuhan hidup, terpaksa aku harus keluar dari desa ku.
"Dek Sari duduk dulu disini!" Bu Soraya menyuruhku duduk di sofa cukup empuk aku rasakan. "Sebentar, Ibu siapkan minuman untuk kamu." sambungnya. Lalu ia beranjak kedapur.
Tak lama datang seorang wanita paru baya membawakan minuman dingin kepadaku. "Silahkan diminum neng!" tawarnya sambil menjulurkan minuman itu di depanku. Boleh jadi wanita ini sebagai pembantu di rumah ini. Ia tersenyum ikhlas kepadaku, lalu ia kembali lagi kedapur.
Beberapa menit kemudia Ibu Soraya kembali, kali ini ia berpakaian seperti anak ABG, celana jiens biru, kaos t-shirt ketat sehingga terlihat buah dada yang menyembul, sedikit jengah aku melihatnya. Wanita ini terlihat seperti anak gadis dari penampilan yang seharusnya ia harus menutup rapat lekukkan tubuhnya itu.
"Kamu sudah makan," katanya membuka obrolan. "Kalau belum bagaimana kita makan di luar, ditempat cafe Tante."
"Aku... Belum lapar Bu!" jawabku malu.
"Us ... Jangan panggil ibu dong, kesannya aku sudah tua." ujarnya. "Panggil Tante aja."
"Iya bu ... Eh ... Iya tante," jawabku gugup.
"Oke ... Kita makan di luar yah," katanya lagi. "Pasti kamu belum tahu kota Jakarta dimalam hari. Jadi sekalian kita jalan-jalan keliling kota Jakarta."
Sangat baik wanita ini, yang tidak mau kupanggil ibu, dia lebih nyaman ku panggil Tante. Senang juga hatiku, punya calon bos baik hati, mengajakku jalan-jalan keliling kota jakarta. Maklum aku gadis desa, baru pertama kali menginjak kota yang penuh dengan lampu kerlap-kerlip di malam hari, di kota yang konon kalau mau sukses harus pergi merantau dulu kekota Jakarta.
***
Laju mobil sedan yang aku tumpangi bersama Tante Soraya melaju merayap. Jalan kota jakarta sudah tidak luas lagi kerena banyaknya kendaraan yang berlalu lalang. Aku gadis kampung baru pertama kali menaiki mobil ber AC ini. Kepalaku terasa pusing bahkan terasa mual, sehingga ingin muntah ku rasakan.
"Kenapa dek Sari. Kamu sakit?" Tente Soraya bertanya. "Gak Tante!" jawabku, mencoba menutupi sifat norak ku. "Sebentar lagi sampai kok." Tante Soraya memandang keluar jendela.
Tak lama kemudian mobil pun menepi di sebuah Cafe. Tampak lampu warna-warni di dalam Cafe itu. Suara denting musik terdengar memekak di telinga. Aku merasa grogi ketika Tante Soraya menarik lenganku untuk masuk mengikutinya kedalam Cafe. Aku merasa riskan di tempat itu. Jauh dari kata kesunyian yang aku rasakan di kampung halamanku.
"Kita sudah sampai. Kita makan dulu di Cafe ini." ujar Tante Soraya kepadaku. "Ingat kalau bisa kamu jangan diam saja kalau ada seorang cowok menyapamu." Ujar tante Soraya membuatku bertambah riskan mendengar nama cowok, aku jarang sekali berbicara bersama seorang lelaki di desaku, apalagi ini di kota.
"Oh yah Tante ... Sebenarnya aku mau di kerjakan di mana? Di Cafe ini ya tante?" tanyaku memberanikan diri. Ada rasa bingung di dalam hati, kenapa aku di ajak ketempat seperti ini.
Tante Soraya hanya tersenyum, ia minum seteguk lalu berucap. "Iya .. kamu kerja di sini sebagai penerima tamu, kamu cukup duduk yang manis, oh yah! kalau kamu sudah mulai bekerja besok, Tante mohon pakaiannya yang mecing yah, juga dandanan kamu, besok kita ke salon untuk berhias diri."
Tambah bingung lagi aku dengan perkataannya, di suruh kerja tapi kerjanya hanya duduk yang manis? Em... perasaanku tidak enak.
Kerlap-kerlip lampu di ruangan tempat itu sangat menyilaukan pandanganku, baru pertama kali aku melihat lampu seperti itu, di desa gelap, sepi dan mencekam, tapi di sini sudah larut malam masih saja ramai.
Seorang pemuda dengan pakaian ala kadarnya, celana terbuka sobek di lututnya dan bergaya seperti anak musik menurutku, menghampiri Tante Soraya. Ia berbisik, mungkin karena terlalu keras musik yang didengarkan di ruangan itu. Aku pun berbicara dengan Tante Soraya harus bersuara keras agar ia mendengar.
Entah apa yang di lakukan Tante Soraya kepada lelaki itu. Ia menguarkan semacam obat, lalu Tante Soraya memberinya uang, entah berapa lembar uang yang di berikan Tante Soraya. Tak lama kemudian Tante Soraya kembali ke meja di mana kami duduk.
"Neng ... minumannya di habiskan, kita pulang," katanya. "Lagi juga kamu pasti lelah di perjalanan tadi."
"Tidak apa tante, kalau tante masih betah di tempat ini, neng akan nungguin." jawabku norak.
"Iya makasih, tapi tante sudah ngantuk, kita pulang aja, besok kita jalan lagi, sekalian kita ke-salon me-manjakan tubuh kita." katanya, Lalu ia beranjak dari duduknya namun sebelumnya uang di teruh di atas meja di bawah kertas bon yang diletakan oleh karyawan Cafe itu.
***
Ruang kamar yang di sediakan Tante Soraya sangat luas tidak seperti kamarku di Desa. Kasurnya empuk, bantal gulingnya yang hangat membuat ku malas untuk beranjak bangun di pagi ini. Wanita paruh baya mengetuk pintu kamarku yang memang tidak terkunci.
"Permisi neng, Ibu Soraya memanggil eneng!" katanya.
"Iya ibu!" jawabku memanggil ibu, karena ia seperti ibuku, tidak pantas aku memanggil Bibi karena memang aku bukan anak Tante Soraya, karena aku berpikir ia sama saja dengan aku sebagai pekerja di Rumah Tente Soraya.
Aku bangun menuju ruang tengah dimana meja untuk makan bersama tersedia. Ku lihat Tante Soraya duduk sambil membaca majalah kesukaannya.
"Pemirsi tante," kataku. "Tante memanggil. Ia melirik kepadaku lalu berkata. "Kamu mandi dulu sana! Setelah itu kita sarapan dan siap-siap kita jalan ke Salon." Ia berujar kepadaku, aku pun segera menuju kamar mandi di sebelah ruangan tengah itu.
Senang sekali aku merasakan mandi dirumah ini. Bersih dan airnya bisa didinginkan juga bisa di panaskan, ah sungguh norak aku. Ketika aku sedang asik bermain sabun yang melumuri tubuhku, terdengar suara mengetuk pintu, aku berteriak bertanya, ternyata yang mengetuk pintu Tante Soraya.
"Mau apa tante?" tanyaku sedikt keras.
"Bolehkah tante masuk," katanya. "Tante mau mandi juga nih. Boleh yah mandi bareng."
Aku sempat diam, berpikir masa mandi bareng, aku jengah. Namun Tante Soraya tetap memanggilku agar aku membukakan pintu dan mengizinkan ia agar mandi bersamaku. "Tante... Aku gak biasa mandi bareng-bareng begini, walaupun sama-sama perempuan!" kataku serius. "Ia... Tante juga tahu, tapi ini sudah siang biar cepat yah kita mandi bareng-bareng aja." jawabnya.
Mau tidak mau akhirnya aku membukakan pintu untuknya. Aku dalam keadaan bugil dan gelembung sabun yang masih melumuri tubuhku karena belum sempat aku bilas. Terpaksa aku memberanikan bugil di depan Tante Soraya. Toh aku pikir sama-sama wanita ini jadi apa yang di malukan?.
Aku kembali membilas tubuhku dengan shower yang aku gunakan. Sedangkan Tante Soraya mulai melepaskan pakaiannya. Tampak bodynya yang putih mulus dan padat. Aku sempat iri padanya, walaupun sudah setua itu terlihat langsing dan seksi.
Tente Soraya melirikku sambil tersenyum. Aku menunduk sambil ku gosok-gosok selangkangnku hanya untuk berpura-pura agar ia tidak melihat memekku yang kecil, karena aku lihat memek Tante Soraya sangat tebal apalagi di tumbuhi bulu-bulu keriting lebat di sekililing rongga memeknya. Ah.. Mungkin lelaki akan ngiler di buatnya kalau melihat memek Tante Soraya yang gemuk itu.
Sambil membasuh air perlahan Tante Soraya berkata kepadaku. "Dek Sari sudah punya pacar?"
Em... Pertanyaan aneh menurutku, walaupun aku ingin sekali mempunyai pasangan juga siih...
"Belum tante," jawabku segera untuk menutupi keculunankku.
"Masa sih ... belum ada yang suka sama kamu? Kamu cantik loh ...!"
"Ah Tante bisa aja," Aku berkillah.
"Benar kok! Kamu itu selain cantik juga body kamu ramping tapi berisi dan kulit kamu juga putih."
Pujiannya membuatku terbuai juga. Dan aku pun menjadi nyaman berbicara sama Tante Soraya, wanita yang bari aku kenal itu yang akan menjadi bos ku.
"Oh yah ... gak enak loh gak punya pacar," kembali Tante Soraya bertanya. "Emang kamu gak mau kaya orang-orang gitu, berduaan setiap malam dan ada teman ngobol."
"Em ... belum ada jodohnya kali tan ..." kataku mengelak.
Aku lihat Tante Soraya mulai menyabuni tubuhnya. Busa melumuri kulitnya yang putih. Terkadang ia berlama-lama mengusap selangkangannya dengan sabun lalu busanya di putar-putar sehingga buih busa menutupi rongga dan bibir selangkangannya yang tebal itu. Ku lihat Dia menikmati busa itu di selangkangannya.
"Tante ... sepertinya aku duluan mandinya." Aku berkata sambil mematikan shower.
"Ih ... emangnya sudah bersih ... " Tante Soraya berkata begitu sambil mendekatiku yang sedang handukkan untuk mengeringkan tubuhku.
"Sudah Tante ...!"
"Sarii ... Temenin tante mandi dulu, jangan buru-buru selesai," katanya lagi. "Coba Tante lihat!" Ia menjamah tubuhku lalu di lihat belakang punduk dan pinggangku. Aku menjadi tidak enak dirasa, karena selama ini aku jarang sekali tubuhku dilihat walaupun sama perempuan pun.
"Agar nanti ketika kamu di salon terlihat fres dan tentu nanti kamu akan nyaman jika di pijat sama petugasnya. Alangkah baiknya mandi yang bersih. Coba lihat ini! Tante rasa kurang bersih, masih ada bercak hitam di atat pantat kamu." terang Tante Soraya menambah aku risih. Bercak hitam itu memang tanda aku semenjak lahir.
"Aku sabunin lagi yah ... " Katanya pula. Ia mengambil sabun yang baru saja aku pakai. Aku sempat ingin menolak, namun karena Tante Soraya memaksa akhirnya aku hanya tersenyum meng-angguk. Sungguh Dia memperlakukan aku seperti anak putrinya. Em ... aku merasa nyaman sih ... Dan memang Tante Soraya ini sangat perhatian semenjak kedatanganku. Aku juga merasa tidak enak kalau tidak menuruti perintahnya.
Ia mulai melumuri busa dengan sabun ketubuhku. Bermula dari belakang pundak dan leherku. Lalu turun ke pinggul. Aku terenyak ketika ia mulai menyentuh dua gundukan bokongku. Namun kali ini tidak lagi membuatku risih dan jengah, justru aku bertambah nyaman. Aku merasa di mandikan oleh ibuku sendiri.
"Tante ... sudah tante Sari gelii..." kataku sambil menoleh kepadanya. Namun tante Soraya semakin bersemangat menggosok badanku dengan sabun. "Ini juga sudah, sekarang giliran yang depan," kata Tante Soraya pula sambil memutar pinggulku yang kecil. Cukup malu dan jengah aku merasakannya ketika vaginaku dekat dengan wajahnya, apalagi Tante Soraya terus mengusap-ngusap dari leher, buah dadaku, perutku dan yang membuat aku bergelinjang geli ketika Tante Soraya merabah-rabah selangkanganku. Ahh ... vaginaku terasa ada beda kurasakan, karena baru pertama kali vaginaku disentuh oleh tangan orang lain.
"Dek Sari rambut bulu kamu masih tipis hihihi ... " kata tante Soraya sambil tertawa ia menoleh kepadaku. "Coba, kamu agak ngangkang dikit," sambungnya. "Sekalian dalamannya pakai oli khusus yahh ...." lalu tante Soraya mengambil minyak oil miliknya, mungkin sering ia gunakan buat vaginanya. "Udah tante ah ... aku malu, gak usah," tampikku, dengan mendorong tangannya ketika mulai membalurkan minyak oil itu ke vaginaku. "Sebentar aja, ini minyak khusus wanita loh ..." jawab tante Soraya. Aku hanya meringis bergidik ketika Tante Soraya mulai mengusap bibir vagianaku.
Aku menuruti apa yang diperintahkan Tante Soraya untuk mengangkang dalam keadaan berdiri. Aku lebarkan kedua pahaku, dan sedikit aku turunkan bokongku sambil memegang tembok. Ketika itu juga Tante Soraya memasukan jarinya tengahnya yang lembut dan secara perlahan. Aku merasakan kelentitku keangkat oleh jarinya, buncah aku rasakan. "Tanteee ... Sudah tante Sari geli ..." rintihku. Tapi Tante Soraya hanya bilang. "Iya ... Ini juga sedikit lagi." "Tante gak jijik nyentuh Sari punya memek?!" kucoba bertanya untuk menghilangkan rasa linuku. "Ini kan buat kamu juga, agar memek kamu ini wangi," ujar Tante Soraya. "Pasti kamu belum pernah memakai sabun khusus wanita ini!" lanjutnya. "Coba liat nanti pasti memek kamu putih gak seperti tadi hitam di bibir memek kamu."
Ku akui memang vaginaku sedikit berwarna hitam di pinggiran rongganya. Maklum aku kalau mandi di desa terburu-buru dan tidak bersih. "Tantee ... jangan di tusuk-tusuk apa," risihku berdesah. Tusukan jari Tante Soraya membuatku bergelinjang tak karuan. Ada yang lain aku rasakan. Aku belum pernah menusuk-nusuk vaginaku ketika mandi. Tapi tusukan jari Tante Soraya membuatku merenggang otot-otot ku, "Aahh ... tante ... uuh ... Ssssst ... Eghhht ... " Aku rasakan sedikit rasa nikmat walau terasa sedikit sakit. Namun sakit itu di barengi rasa enak yang sangat amat baru aku rasakan. Spontan aku semakin menurunkan bokong ku dan kulebarkan pahaku, tentu menambah mudah jari Tante Soraya masuk lebih dalam lagi bersama busa sabun khusus wanita itu. Bahkan ia sudah memasukan tiga jari sekaligus. "Uhhh ... Egght ... " Tambah besar aku rasa, padat selangkanganku, "Emm ... tantee ... Aemmm... " Aku meracau tak karuan. Tante Soraya hanya tersenyum menatapku tampa ada kata yang keluar. Rupanya ia sangat menikmati sekali dengan memainkan jari jemarinya ke vaginaku. "Uuhh ... enaak ... ahh ... nikmat ... ooohh ... yaagh ... " Desahku di dalam hati.
Tak lama kemudian Tante Soraya menarik jarinya dari vaginaku lalu ia berucap. "Sekarang tinggal dibilas, pasti hasilnya memek kamu terlihat putih sudah pasti akan wangi baunya." Lalu Tante Soraya mengambil shower untuk membilas vaginaku. Dan ia menyiramnya sambil berkata. "Kalau sudah putih dan wangi, pasti banya lelaki yang akan memboking kamu!"
Aku terenyak ketika Tante Soraya mengatakan mem-boking. Aku tidak mengerti maksudnya. Aku pun bertanya. "Boking apa Tante?" "Em ... " Tante Soraya hanya menguarkan suara deheman, lalu kembali tersenyum kepadaku sambil menyiramkan air ke vaginaku. Terkadang aku kembali mengangkang lebar ketika ujung shower itu berada di depan rongga vaginaku, aku merasakan geli menggelitik ketika air semprotan yang keluar sedikit kencang menyembur bibir dan klitoris vaginaku.
"Sudah tante!" kataku menampik lengan Tante Soraya agar ia tidak terlalu dalam merogok selangkanganku, sehingga membuatku kehilangan kontrol akibat nikmat yang kurasa. "Bagaimana segarkan memek kamu?" tanya Tante Soraya. Memang benar aku rasa, selangkanganku terasa fresh dan bersih. "Em ... " Aku mengangguk.
Kami pun memakai handuk masing-masing lalu melangkah keluar kamar mandi. Tante Soraya berjalan pebih dulu sedangkan aku di belakangnya. Namun Tante Soraya tidak langsung masuk kamarnya, ia duduk dulu di sofa ruang tamu dengan handuk masih melilit tubuhnya yang padat. Sedangkan aku langsung masuk kamar untuk mengganti pakaian.
***
Suasana Spa juga salon tampak sepi dari pengunjung. Aku dan Tante Soraya segera masuk. Sebelumnya seorang wanita penjaga buku tamu mendaftarkan Aku dan Tante Soraya. Karena memang kami adalah pengunjung pertama, kami pun tidak lama menunggu.
Suasana di dalam sangat sejuk karena pendingin AC berhembus sejuk menerpa tubuhku. Sebelum petugas salon datang untuk memanjakan kami, Tante Soraya berkata. "Sari, ini adalah salon langganan Tante, disini kita akan di manja dalam merawat tubuh kita. Kamu nanti akan di pijat refreksi agar tubuh kamu fit dan segar." Aku hanya diam sambil memandang sekeliling ruangan itu. Maklum aku baru pertama kali masuk kedalam Spa ini. "Tante juga nanti di pijit juga," tanyaku. "Ia lah, Tante juga kan ingin fit dan terlihat cantik." jawabnya.
Tak lama kemudian seorang lelaki berpakaian rapi berwarna putih datang menghampiri kami. "Halo Tante Soraya ... " sapanya sambil tersenyum kepada Tante Soraya. "Hai Bang Salmon ... aku baik Bang!" jawab Tante Soraya kepada lelaki itu dengan panggilan Abang. "Bagaimana Tante mau di pijat," kata lelaki yang bernama Salmon itu. Tante Soraya lemparkan senyum genit. "Ia dong ... lagi kepingin nih di pijat sama Abang!" seru Tante Soraya kepada lelaki itu. Bang Salmon namanya. Orangnya sedikit terlihat tua tapi tampan dan energik. Lalu Ia melirikku sambil lemparkan senyum, aku pun membalas senyumnya.
"Oh iya ... kenalkan ini adik ku," kata Tante Soraya, ia mengaku aku sebagai adiknya. "Bang Herman mana?" Tante Soraya bertanya kepada Bang Salmon sambil menoleh kearah pintu ruang petugas. "Ada Tante di dalam," jawab Bang Salmon "kenapa Tante," lanjutanya balik bertanya. "Iya aku butuh kamu sama Bang Herman," tukas Tante Soraya. "Oke Tantee, aku panggilkan dia!"
Bang Salmon segera masuk keruang petugas salon itu. Kini aku tahu ternyata lelaki itu sebagai pekerja. Entah apa pekerjaannya, aku tidak tahu.
Tak lama kemudian lelaki yang di panggil Bang Herman oleh Tante Soraya keluar dari kamar itu dengan pakaian warna yang sama di kenakan Bang Salmon. Lalu ia menghampiri Tante Soraya seraya tersenyum lalu berkata. "Hai Soraya ... emm baru terlihat lagi sudah lama kamu tidak kesini. Sudah punya tampat yang lain yah ..." katanya menyeringai. Tante Soraya pun lemparkan senyum. "Gak ... aku sibuk aja, jadi belum sempat kemari untuk merawat tubuhku." ujar Tante Soraya.
Lelaki itu menoleh kepadaku. "Ini siapa?" tanya lelaki yang bernama Bang Herman. "Oh ... Ini adikku dari jawa, kenalkan namanya Sari!" jawab Tante Soraya sambil memperkenalkan aku. Lelaki itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, aku pun menyambutnya. "Kami ingin di pijat refreksi tentu paket plus," sambung Tante Soraya. Ku lihat Tante Soraya mengedipkan mata kepada lelaki itu. "Oh ... oke silahkan ganti pakaian kalian dengan handuk yang sudah disediakan di sana!" Lelaki itu menunjuk kearah lemari tempat penyimpanan handuk. Tante Soraya segera beranjak dari duduknya lalu berkata kepadaku. "Sari ... kamu ganti pakaian kamu dengan handuk itu. Jadi hanya pakai dalaman saja, soalnya kita mau di pijit refleksi oleh kedua lelaki itu." Ternyata kedua lelaki itu yang bernama Bang Salmon dan Bang Herman adalah petugas pijat refleksinya.
"Oh ya ... mau satu kamar sekalian apa pisah dengan adik kamu?" tawar lelaki bernama Bang Herman.
"Ah ... satu kamar saja," jawab Tante Soraya. "Soalnya adikku ini baru pertama kali di pijat refleksi. Lelaki itu mengangguk.
Lalu Tante Soraya menarik aku ke lemari tempak handuk itu. "Ayo Sari ... buka semua pakaian kamu. Kalau bisa telanjang." kata Tante Soraya, yang membuatku bingung, masa di pijit sama lelaki segala gak pakai baju. Emang tukang pijit wanitanya gak ada apa! Pikirku.
Sedikit ragu aku untuk menanggalkan pakaian yang hanya di baluti handuk itu. Walaupun handuk itu lebar menutupi tubuhku, tapi aku jengah merasakan, lebih-lebih di pijat oleh seorang lelaki dewasa, ah ... Apa rasanya. Ku lihat Tante Soraya sudah mengenakan handuk. Karena ku pikir bersama Tante Soraya dalam satu kamar, maka aku memberanikan diri untuk bertelanjang walau celana dalam dan bra masih kukenakan.
"Dek Sari ... kamu disana," kata Tante Soraya sambil menunjuk ke tempat tidur ukuran kecil yang hanya untuk satu orang.
Ku lihat Tante Soraya tidur telungkup sambil menopang dagu, aku pun mengikutinya. Tak lama kemudian data dua lelaki itu, Bang Salmon dan Bang Herman dengan pakaian seragam putih seperti yang tadi. Bang Salmon mendatangi Tante Soraya sedangkan Bang Herman menghampiriku. Namun sebelumnya aku sempat melihat Tante Soraya berbicara pelan kepada Bang Salmon, lalu melirik Bang herman, enatah apa maksudnya.
Dengan posisi telungkup kami pun mulai di pijat perlahan. Berawal dari telapak kaki hingga sampai betisku. Nyaman kurasakan pijitannya. Perlahan namun terasa. Apalagi ketika seluruh betis kakiku di lumuri minyak urut, rasanya hangat merasakannya. Ketika aku rasakan Bang Herman mulai memijat pahaku, ia coba menyingkap handukku, aku merasa risih lalu aku tepak tangannya agar tidak terlalu keatas karena aku merasa kurang nyaman disentuh tangan laki-laki. Lalu Bang Herman berbisik kepadaku.
"Maaf... ini sudah tugas kami dalam memuaskan pasien kami. Hal seperti ini sudah terbiasa pada pasien kami yang lainnya. Lalu aku minta padanya agar memijat kakiku saja, jangan masuk ke atas paha ku. Bang Herman pun berkata. "Baiklah!" Ia pun hanya memijat kaki ku saja. Ia melanjutkan. Dengan baluran minyal oil entah apa namanya aku benar-benar terasa di manja. Belaiannya sungguh melemaskan urat-uratku. Dari telapak kaki sampai lutut Bang Herman terus memanjakan dengan sentuhan kelembutan tangannya. Tidak terasa aku seperti dibuainya.
Aku melirik dimana Tante Soraya di pijat. Ketika aku memandangnya Tante Soraya pun memandangku. Ia berkata. "Bagaimana? Enak gak di pijat sama Bang Herman?" Aku hanya sunggingkan senyum. "Bang Herman di pijatnya jangan kakinya aja doong..." ujar Tante Soraya kepada Bang Herman. "Permintaan Dek Sari Tante!" jawab Bang Herman.
Aku melihat Bang Salmon membuka ikatan handuk yang dikenakan Tante Soraya. Sedangkan Tante Soraya hanya berdiam saja ketika handuknya di buka bahkan malah ia sengaja agar Bang Salmon membukanya. Benar saja, tak berapa lama Tante sudah dalam keadaan bugil. Tampak bokongnya yang gempal menggoda. Lalu Tante Soraya berucap kepadaku.
"Dek Sari... Izinkan Bang Herman membuka handukmu." Aku menggelengkan petanda tidak mau. "Begini sudah biasa Dek sar.. Jangan malu-malu gak di apa-apain kok sama Bang Herman. Paling hanya di pegang-pegang doang!" sambung Tante Soraya kepadaku. "Bukan begitu Bang Herman!?" sambil menoleh ke Bang Herman. "Mereka propesional loh Dek Sar...Gak mungkin mereka memperkosa kamu. Tugas mereka adalah hanya memijat kamu." Tante Soraya berujar. "Tapi aku malu Tante.." kataku.
Aku tetap seperti semula hanya meminta di pijat kakinya saja. Bang Hermanpun melakukannya. Hanya sebatas lututku Bang Herman memijatku. Namun aku terperanjat ketika melihat Bang Salmon memijat paha Tante Soraya yang sudah tidak tertutup lagi tubuhnya di biarkan telanjang bebas. Secara perlahan dan lembut Bang Salmon membelai paha Tante Soraya dari atas ke bawah. Aku melihatnya jadi terhenyak tidak enak, tapi karena tempat tidur khusus pijat sangat dekat dan rasa ingin tahu di hatiku akhirnya aku melihat juga.
Bokong Tante Soraya yang tebal dan bohay membuat aku melihatnya tertegun begitu indah. Mungkin Tante Soraya suka berolah raga sehingga tubuhnya masih terlihat gempal dan padat juga putih. Bang Salmon menyuruh Tante Soraya untuk membuka pahanya yang sebelah kiri sedangkan yang kanan dibiarkan lurus. Lalu Bang Salmon kembali membalurkan oil, tampak licin dan mengkilap paha dan pantat Tante Soraya. Setelah itu perlahan secara lembut Bang Salmon membelai paha Tante Soraya lalu naik ke bokongnya. Ku lihat Tante Soraya sempat bergidik karena geli. Terdengar ia mendesah. "Eesss... "
Tak lama kemudian Tante Soraya membuka lagi paha yang sebelah kanan, sehingga ia dalam posisi mengangkat telungkup, sudah pasti liang vaginannya terlihat jelas oleh Bang Salmon. Bahkan pantatnya sempat di angkat. Bang Salmon ku lihat sempat melirik vagina Tante Soraya sambil membalur oil ke telapak tangannya.
"Bang... Jangan cepet-cepet yah!" kata Tante Soraya perlahan. Kembali Tante Soraya mengangkat bokongnya sambil melebarkan pahanya. Kembali Bang Salmon mengusap perlahan dari paha hingga naik ke bokong Tante Soraya. Dan kembali aku terhenyak ketika telapak tangan Bang Salmon merabah vagina Tante Soraya. "Egghhtt...," desis Tante Soray ketika belahan vaginannya disetuh Bang Salmon. "Egghhtt...," Aku mendengarnya sangat risih sehingga aku reflek ikut berdesis perlahan.
Terdengar samar-samar Bang Salmon membisik ketelinga Tante Soraya, "Gimana...teruskan." Tante Soraya mengangguk. Kembali Bang Salmon merabah selangkangan Tante Soraya. Kali ini semakin liar, jari jemari memainkan selangkangan Tante Soraya. Ku lihat tubuh Tante Soraya bergetar hebat ketika vaginanya di pijat Bang Salmon. Usapan di vaginanya membuat kakinya tak bisa diam, sambil manaikan bokongnya sungguh Tante Soraya sangat menikmati vaginanya di sentuh dengan lembut oleh jari jemari Bang Salmon.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku ikut bergetar merasakan ketika Tante Soraya berdesah dan bergelinjang aku pun ikut menikmati belaian dan pijatan Bang Herman, walaupun ia masih memijat di sekitar kakiku saja. Tapi aku ikut terbawa irama kehangatan dari belaian dan usapan yang di lakukan oleh Bang Salmon kepada Tante Soraya. Tampa aku sadari aku pun ikut melebarkan kedua pahaku. Ku biarkan pahaku sedikit terbuka, walaupun handuk masih melingkar di tubuhku. Nafasku tak beraturan ketika Bang Herman mengusap di atas lututku. Hangat menjalar melalui darahku. Aku bergelinjang.
Kembali ku melihat Tante Soraya yang menikmati pijatan Bang Salmon dalam leadaan bugil. Perlahan bokong Tante Soraya di baluri oil. Tapi kali ini Bang Salmon melepaskan seluruh pakaianya, ia pun bugil dan aku sempat memalingkan wajahku untuk tidak melihat. Kembali aku merasakan usapan dan belaian tangan Bang Herman yang sudah menjalar keatas pahaku. "Bolehkah aku memijat pahamu!" bisik Bang Herman perlahan ditelingaku. Karena pikiranku terbawa irama apa yang aku lihat yang dilakukan Tante Soraya, aku pun mengangguk petanda mengiyakan.
Bang Herman menyingkap handukku. Kini celana dalamku terlihat jelas. Ia pun kembali membalurkan oil disekitar pahaku. Hangat aku rasakan ketika Bang Herman memijat lembut kedua pahaku sampai lipatan bokong. Aku menikmatinya.
Kembali ku melirik ke arah Tante Soraya. "Gila!" pikirku. Dalam posisi telentang Tante Soraya membiarkan Bang Salmon merabah payudaranya bahkan dengan gerakan seolah-olah ingin menjilati seluruh tubuhnya. Buah dadanya yang besar di remas-remas. Tente Soraya bergelinjang nikmat ketika lipatan pahanya di buai dengan usapan lembut dari tangan lelaki yang bernama Bang Salmon.
Apalagi mereka berdua sudah keadaan tampa sebenang pun yang menutupi tubuhnya. Aku coba melihat penis Bang Salmon yang memanjang kekar, baru kali ini aku melihat penis lelaki. Oh... Aku melinu di sekujur tubuhku ketika membayangkan seandainya penis lelaki itu masuk kedalam vaginaku. Sakitkah, ah "Gilaa.." pikirku kembali.
Ah..Bang Salmon memukul penisnya ke buah dada Tante Soraya. Plak.. Plak.. Plak.. Terdengar jelas tamparan penis Bang Salmon. Tapi Tante Soraya sangat menikmati tamparan penis lelaki itu ke buah dadanya. Uh... Aku jengah melihatnya tapi aku penasaran dan aku terus melirik walau agak malu aku rasakan.
Aku ingin melawan semua dari suasana ini. Tapi aku tak kuasa, entah kenapa harusnya aku keluar dari sini.Tapi seakan-akan hati ini terpatri sehingga aku terbawa suasana yang seharusnya aku tidak merasakan dan melihatnya. "Ah... Gilaa..." batinku berteriak.
Lain halnya dengan Tante Soraya, ia benar-benar menikmati. Walaupun ia tidak melakukan apa-apa tapi tubuhnya di gerayangi tangan Bang Salmon. Buah dadanya yang besar itu di baluri minyak oil, sehingga terlihat licin memutih. Bang Salmon menaruh penisnya di tengah-tengan buah dadanya. Lalu secara perlahan disentuhnya secara lembut lalu di himpitkan penis Bang Salmon, karena licin penis Bang Salmon perlahan di gosok-gosok dengan cara maju-mundur di himpitan payudara Tante Soraya, sehingga kepala penisnya menyembul keluar masuk di himpitan payudaranya. Aku melihatnya menelan ludah. "Kontol Bang Salman besar sekali!" batinku. Indah aku pandang benda ajaib sang lelaki, ada rasa ingin memegangnya lalu dimainkan. "Uh.... " Aku sedikit berhayal.
Tiba-tiba Bang Herman membisik ditelingaku, membuatku terkejut. "Apakah ingin mencoba seperti tantemu?!" "Ehmm.. Ehmm.. " Aku hanya berdehem isyarat kalau aku ingin di perlakukan seperti Tante Soraya. Rupanya Bang Herman mengerti maksudku. Ia melepaskan handukku yang sedari tadi masih melilit di setengah tubuhku. Ah.. Kini tingga Bra dan Celana dalamku yang tipis. Bang Herman tidak semua membukanya, ia kembali membalurkan minyak oli. Namun kali ini ia membalurkan di belakang tubuhku dari pundak hinggg pinggang. Tapi ketika ia mencoba membuka celana dalamku, aku sedikit terhenyak, lantas Bang Herman berkata. "Izinkan aku membuka penutup ini! (Maksudnya celana dalam yang dikenakan Sari). Aku mengangguk pasrah.
Ku biarkan tangan Bang Herman membukanya. Lalu aku merasakan usapan telapak tangan Bang herman ketika ia mulai meremas-remas bokongku. Dan ketika ia menyuruhku untuk melebarkan sedikit pahaku, aku menuruti. Kutarik keatas pahaku sebelah kiri sehingga posisi seperti huruf d, sudah pasti belahan vaginaku sangat jelas.
Sentuhan sangat lembut dari tangan Bang Herman membuatku merasakan melayang sehingga ingin tertidur dan kubiarkan Bang Herman menjamah seluruh tubuhku. Bahkan Bang Herman berani membelai selangkangnku. Ku lebarkan mengikuti irama belaiannya. "Emmmm...ahhhh."
Lalu aku mendengar suara Tante Soraya berdesah hebat. Ketika ku menoleh padanya, ternyata Tante Soraya dalam keadaan menungging sedangkan Bang Salmon memasukan penisnya dari belakang. Tante Soraya bergelinjang nikmat. "Ah.. Ah.. Ah.. " Tante Soraya berdesah. Plok.. Plok.. Plok.. Terdengar santar suara kulit mereka masing. Sleb bleb sleb bleb. Aku mendengarnya cukup melinukan telingaku.
"Bang...ohh..kamu kuat sekalii.." rintih Tante Soraya.
"Memek kamu enaak sayang..oh." jawab Bang Salmon.
"Bang...kontol..enakk...ssst ... Eght..."
"Eah...uh.. Uh.. Uh.." Bang Salmon mempercepat gerakannya. Bokongnya mundur maju dengan irama cepat. Plok, plok, plok,
"Bang...kuarin.dong...ssst...cepeet ahh.." desah Tante Soraya, terlihat ringisan dari mimik wajahnya rasa kesakitan. Namun tak berapa lama ia kembali mendesah perlahan dengan kedua mata melirik keatas sayu.
"Oh....yeah...ah...ssst...enak... Uh... Enak....sss...."
Tante Soraya menurunkan kepalanya bersandar di bantal dalam keadaan masih menungging. Bokongnya menjulang tinggi sehingga Bang Salmon begitu leluasa memandangnya, juga lebih mudah untuk menusuk penisnya.
Bang Salmon menarik penisnya lalu di arahkan ke liang anus Tante Soraya. "Gila... Apakah lubang anusnya di pakai juga," batinku, penuh rasa nyeri melihatnya. Ternyata benar Bang Salmon ingin memasukan penisnya yang besar dan panjang ke dalam anus Tante Soraya.
"Bang...mau apa?" tanya Tante Soraya. Bang Salmon tidak menjawab.
"Ih....abang..mau lewat dubur yah.?" kembali Tante Soraya berucap. "Jangan Bang...aku belum pernah melakukan ini." Tante Soraya memohon agar Bang Salmon tidak melewati dubur. Tapi Bang Salmon tidak perduli ia masih saja memasukan penisnya perlahan ke rongga dubur Tante Soraya.
"Eggh..." seru Tante Soraya dengan suara tertahan.
"Siap yah Tante..." kata Bang Salmon.
"Ah, kunyuk kau Bang!" hardik Tante Soraya, namun Tanten Soraya malah memberinya dengan cara mengangkat tinggi-tinggi pantatnya. Bang Salmon berdiri di atas bokong Tante Soraya, lalu menurunkan perlahan dengan mengarahkan penisnya ke liang anus. Bang Salmon sudah pengalaman, ia meludahi lubang anus itu sehingga menjadi licin. Kepala penisnya di tempelkan di bibir vagina. Di gosok perlahan lalu di tekan sedikit hanya sampai leher kepala penis. Tante Soraya sempat tersentak ketika kepala penis Bang Salmon sedikit masuk. Rupanya Tante Soraya baru pertama kali di senggama melalui lubang dubur.
"Ngentot..loe Bang mainnya lewat bo'ol." cecar Tante Soraya.
"Ught.." panis Bang Salmon setengah karam, ditarik kembali perlahan lalu di ulur lagi perlahan. Secara pelan-pelan agar lubang anus Tante Soraya bisa menyerasikan benda yang akan masuk kedalam liang anusny.
"Sayang... Bo'ol kamu seret..."ucap Bang Salmon sambil merasakan penisnya.
"Pelan-pelan bang..ahh.. Baru pertama kali gue di entot lewat dubur!" jawab Tante Soraya. "Ssst ea....ahh...entot....bo'ol gue serasa pengen berak," celoteh Tante Soraya sambil bergelinjang. "Ssst....egh..."
Bang Salmon segera menusul penisnya lebih dalam lagi. Tante Soraya tersentak merasakan duburnya padat. "Ahhhh..."
Sleb...blebeb..
"Uhh..uhh..uh..." Bang Salmon menggoyangkan pinggulnya.
"Uuh.....pelan-pelan bang uh...sakit...uh..." Rintih tante Soraya. "Oh....eah... Ssst...bang....oh...enak..gak..ngentot bo'ol." tanya Tante Soraya.
"Enaaak...seret ...sayang..emm...ssst...ah..."
Karena sudah merasa beradaptasi, tante Soraya meminta agar Bang Salmon menggoyangkannya lebih cepat. Saat itu juga Bang Salmon menghujam penisnya dengan irama cepat..sleb..blebeb..sleb...blebeb..
"Ah..ah..ah..ah," desah Tante Soraya. "Bang...oh... Enak juga di ewek dubur...oh...terus ...bang..entot yang cepat...oh..."
Sst...tiba-tiba aku merasakan memek ku ikut berdenyut. Aku pipis sedikit. Entah apa pipis itu, aku merasakan pipis yang aneh. Rerasa basah kasur nya aku merasa gak enak dan malu pada Bang Herman, tapi Pak Herman hanya diam saja sambil focus mengurut kedua belah pahaku hingga sampai bokong. Kare merasa risih akhirnya aku berujar padanya. "Bang! Aku mau pipis dulu, boleh yah, udah gak tahan nih."
Bang Herman tersenyum lalu berkata. "Apakah perlu di ganti spreynya. "Oh...may good.. Ternyata Bang Herman tahu kalau aku pipis karena terangsang melihat Tante Soraya dan Bang Salmon bergumul mesra, di tambah pijatan Bang Herman yang lembut menyentuh organ sensitiv ku." batinku merasa malu.
"Boleh.." jawabku. Aku pun segera kekamar kecil.
Di dalam kamar kecil aku nelangsah apa yang baru saja aku alami dan kulihat sungguh pengalaman pertama membuat hatiku kebat-kebit. Sungguh nista apa yang aku lihat, aku gadis desa harus tersesat kedalam dunia nista. Apakah ini petanda buruk untuk masa selanjutnya. "Kenapa berniat bekerja di suatu cafe milik Tante Soraya, namun aku di perlakukan begini rupa di manjakan oleh calon bos ku sendiri." batinku penuh tanda tanya.
Tak lama kemudian aku keluar dari kamar kecil, dan kembali keruangan pijat dimana Bang Herman menungguku untuk kembali di pijat. Ketika aku mau masuk, aku terkejut saat itu Bang Herman ternyata ikut bergumul bersama Tante Soraya dan Bang Salmon. Mereka bertiga seperti tak kenal jijik. Dalam posisi menungging Tante Soraya menghisap penis Bang Herman yang dalam keadaan berdiri di hadapannya. Sedangkan Bang Salmon mainkan penisnya melalu dubur Tante Soraya dari belakang. Aku tak sanggup melihatnya, karena mereka tidak sempat melihat aku masuk, aku mencoba untuk keluar, namun sebelumnya aku mengambil pakaianku terlebih dahulu, lalu aku pun beranjak keluar.
Aku merasa mual melihat tingkah laku mereka seperti binatang. Dan akj berpikir sepertinya Tante Soraya akan memperalatku, sudah kurasakan semenjak aku datang, aku seperti dimanja bahkan seperti anaknya sendiri. Kedua semenjak aku mandi bareng dia seperti tidak malu dan jengah bahkan ia mau menggosok tubuhku seperti memandikan anak kecil. Aku yakin pasti Tante Soraya ada maksud kepadaku.
***
Malam itu terasa dingin, mungkin akan turun hujan. Kota yang penuh sesak tidak biasanya menguarkan udara dingin. Ku duduk di sebuah warung kopi di pinggiran trotoar jalan. Pikiranku melayang ke kampung halaman. Apakah aku harus kembali pulang dengan membawa kegagalan untuk bekerja di kota jakarta. Apakah aku harus tergantung kembali pada keluargaku sehingga menambah beban bagi mereka. "Ah... Jangan, aku harus mencari pekerjaan kembali dengan cara dan usahaku sendiri." batinku.
Tak lama kemudian seorang lelaki menghampiriku. Tubuhnya profosional, atletis juga tampan. Ia melirikku, dan sunggingkan senyum lalu duduk disampingku. "Hai... Sepertinya ada yang perlu dibantu," katanya mengejutkanku. "Kalau aku lihat kamu seperti orang yang sedang kebingungan." katanya lagi.
Aku hanya diam
"Kalau ada yang bisa aku bantu, bicara saja siapa tahu aku bisa membantumu!"
Rupanya lelaki ini memperhatikan aku. Ia tahu kalau aku sedang kebingungan, mungkin ia melihat mimik wajahku yang kusam dan penuh beban.
"Jangan malu-malu untuk berujar kepadaku!" kata lelaki itu lagi. "Ini kota jakarta mbak, banyak orang jahat."
Lelaki itu sangat mengerti dan perhatian kepadaku. Alangkah baiknya berterus terang saja apa yang aku rasakan. Toh siapa tahu ia bisa membantu dengan mencarikan pekerjaan.
"Aku kesini hanya ingin mencari pekerjaan," kataku dengan nada rendah.
"Oh..gitu," ucap lelaki itu. "Oh yah kita belum berkenalan, kenalkan namaku Ari!" Ia mengulurkan tanga. Aku pun menyambutnya sambil tersenyum. "Namaku Sari, kepanjangannya Sari Ningsi."
"Oh yah..makasih," katanya. "Emang mau cari pekerjaan seperti apa!"
"Apa aja yang penting aku bisa bekerja dan menghasilkan uang."
Lelaki itu bernama Ary berpikir. Lalu aku teringat dengan seorang lelaki paruh baya ketika ketemu dan sempat mengobrol masalah anaknya yang tidak tahu entah kemana perginya, di dalam bis ketika mau ke Jakarta. Lelaki peru baya itu bercerita tentang anaknya bernama Ary. "Apakah Ary yang di maksud lalaki yang berada didepan ku ini!" batinku.
"Aku punya pekerjaan untukmu," kata lelaki yang bernama Ary. "Kalau kamu mau, upahnya sangat besar lumayanlah buat hidup sebulan di kota Jakarta." katanya pula.
"Pekerjaan apa tuh?" tanyaku.
"Hanya mengantarkan barang itu," Sambil menunjuk kearah motornya yang terpakir. "Kamu antarkan barang itu dengan menggunakan mobil umum, nanti aku kasih alamatny." Ku lihat barang itu seukuran kardus mie instan, entah apa isi di dalam kardus itu. Lalu aku bertanya. "Emang itu isinya apa?" "Kamu tak perlu tahu, yang terpenting adalah barang itu sampai ketujuan. Nanti setelah itu kamu dapat bayarannya." ujarnya.
"Bang Ary!" Aku memanggilnya dengan sebutan abang. "Lalu hanya itu,?" kataku bertanya. Bang Ary mengangguk. "Terus bayarannya berapa?" tanyaku lagi. "2 juta kalau barangnya sudah sampai.
Aku berpikir apa salahnya mencoba, toh cuma mengantarkan barang. Akhirnya aku pun menjalankan pekerjaan itu. Ary memberi ku ongkos 500 ribu, sedangkan jarak sangat dekat. Berarti masih ada tersisa banyak uang yang aku terima kelebihan ongkos yang ia berikan.
***
Rumah itu cukup besar berada di ujung jalan sebuah komplek perumahan. Taksi yang aku tumpagi berhenti didepannya. Aju pun keluar setelah membayar ongkos yang aku berikan pada supir. Berdiam sejenak didepannya, tak lama keluar dua orang lelaki dengan penampilan yang sangat seram. Wajahnya buruk seperti penjahat jalanan. Aku sempat takut, dan mereka langusung membukakan pintu dan menyuruhku segera masuk. Rupanya mereka sudah tahu akan kehadiranku. Setelah aku menyerahkan barang itu, akupun pamit untuk pulang tapi seseorang menahanku.
"Jangan pulang dulu mbak," cegah seseorang dengan postur tubuh agak gemuk. "Saya harus minta dulu keterangan diri mbak!?"
Aku diam.
"Nama mbak siapa?" tanyanya lagi. "Dan dari mana asalanya, punya KTP?" Aku pun menyerahkan tanda pengenalku. "Boleh aku periksa tubuh kamu?" kembali lelaki agk gemuk bertanya.
"Maaf pak. Saya kesini hanya ditugaskan mengantarkan barang dari Bang Ary orang yang baru aku kenal," Aku menjawab tegas.
"Ia tapi kami harus menggeledah tubuh Mbak dulu!" kata lelaki satunya lagi, ia agak kurus. "Demi keamanan kita bersama kami harus memeriksa tubuh Mbak." "Aku tidak mau," sentakku. "Ini namanya pelecehan!" Aku langsung balik tubuh untuk keluat dari rumah itu. Tapi tangan lelaki itu mencekal lenganku dan menariknya sangat keras sehingga aku terasa kesakitan. "Kamu jangan coba-coba melawan kami." Lelaki gemuk menghentakku, aku ketakutan. "Jangan sakiti saya pak!" pintaku dengan tubuh gemetar.
"Kami tidak akan menyakitimu kalau kamu menuruti peraturan yang ada disini!" ujar lelaki agak kurus. "Saya harus bagaimana?" jawabku. "Lepaskan semua pakaian mu!" Aku terkejut, tak mungkin aku lakukan bertelanjang didepan mereka. "Cepaat..." sentaknya lagi.
Pikiranku kacau dan tak menentu, akhirnya aku pun menuruti perintah kedua lelaki itu. Perasaan takut menyelimuti hatiku. Ku tanggalkan semua pakaian yang menutup tubuhku, kecuali celana dalam dan bra, namun mereka meminta semua untuk ku lepasakan tampa sehelai benang pun.
"Uuhh...lihat, body men masih padet," kata lelaki berbadan gemuk. Sedangkan yang kurus berada di belakang, ia berjongkok memandang bokongku. "Em... coba aku pegang dulu yah!" kata lelaki berbadan gemuk. Ia merabah vaginaku dengan belaian lembut tangannya. "Esss... Indah full tampa bulu,"
Aku kegelian ketika mereka merabah dari dua arah, yang gemuk merabah vaginaku sedangkan yang kurus memijit dua bokongku. Mereka menikmati keindahan tubuhku, aku hanya menangis kecil, hatiku pasrah akan terjadi yang akan membuatku nista. Aku yakin aku akan di perkosa.
Dan itu benar adanya, aku dalam keadaan tak berdaya karena mereka mencengramku dalam keadaan tampa busana selembarpun membuat mereka bebas menggerayangi tubuhku. Diatas meja aku direbahkan lelaki berbadan sedikit kurus menahanku dari atas, sedangkan lelaki sedikit gemuk mencekal kedua kaki ku.
Kaki kiriku di angkat sehingga sampai pada pundak lelaki gemuk itu. Sedangkan kaki kananku ditekan oleh pahanya yang sudah menghimpitku sehingga aku tak kuasa untuk meronta. Lelaki itu dengan ganasnya mencoba memasuki penisnya ke rongga vaginaku. Perlahan kepala penis membelai bibir vaginaku. Lalu tak lama ia menghujamkan dala-dalam sehingga aku tersentak sakit ketika vaginaku menelan benda yang belum pernah aku rasakan. Sakit di barengi rasa nyeri ketika penis lelaki itu menarik keatas lalu kembali menghunusnya, bahkan ia bergoyang lebih cepat membuat nafasku tak karuan..
Sempat aku tahan rasa sakit itu. Namun kini terasa ada yang lain ketika rasa sakit hilang, kini berganti nikmat pertama kali aku rasakan vaginaku seperti tersumbat. Rasa itu membuat aku bergelinjang "Egh ..." desahku.
Lelaki sedikit gemuk terus menggesek-gesekan penisnya dengan cepas. Nafasku megap-megap ketika ia menghujam terlalu dalam sehingga karam seluruh batang penisnya. "Ohh ... enaakkk ... memek ... memek ... ohhh ..." sambil berkata begitu ia mendongak keatas. Aku pun bergelinjang ku coba mendorong tubuhku keatas agar ketka ia menyentakan penisnya tidak terlalu mentok.
Penisnya yang padat menyumpal penisku. Terasa tebal liang vaginaku, Aku merasakan seperti ada kenikmatan sehingga aku biarkan lelaki itu menusuk-nusuk selangkanganku. Walaupun aku berontak hanya untuk mengimbangi agar lebih terasa dan tidak nyerih aku rasakan.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar